Bab X
Sunan Gunung jati
1.
Asal - Usul
Sebelum era Sunan Gunung Jati
berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah datang di
daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya. Ulama besar itu bernama
Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar
daerah Cirebon.
Al-Kisah, putra Prabu
Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara
Santang pada suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu terulang hingga
tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama
Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang
agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda
itu merasa rindu. Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan,
kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan
jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul
Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di
Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru
kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran
Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu
Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang
dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada
Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati,
Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan
di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda
sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan
pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut
Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang
diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal
Alang-alang.
Orang yang menetap di
Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula
pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran
dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban. Maka
Legal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat
Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis
yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis
dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai
Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran
Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah
haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di
rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan
agama.
Sewaktu mengerjakan
tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja
Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja
Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang
istrinya.
Sesudah ibadah haji
diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.
Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah
pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan
Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah.
Pangeran Cakrabuana
sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan
mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan dari
daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas Islami.
Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran Cakrabuana yaitu
Pakungwati.
Dalam waktu singkat
Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh
Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri
baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau
hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan
putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia
muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk
menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia
dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa
berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya
yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri
Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan Timur
Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke
tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan
dakwah.
2.
Perjuangan Sunan Gunung Jati
Sering kali terjadi
kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan
Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu,
tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran
adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan
Gunungjati.
Sedang Fatahillah adalah
seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati
berperang melawan penjajah Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah
bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan
Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang
Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri
Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan
Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran
Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran
Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan
agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan
tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah Muda’im dan
putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka
Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat yang
ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan
Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah
lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif
Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke
Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak
masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam,
dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang
sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat
yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif
Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah
dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari
perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang
putra
yaitu Nyi Ratu Winaon
dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut
bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan
beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan
Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama
dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya
Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang
biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai
pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri
di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang
dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah
yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi
usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke
Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif
Hidayayullah.
Dengan bergabungnya
prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh
Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana
Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.
Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah
pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang
menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga
istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon
yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin
erat.
Bahkan Sunan Gunungjati
pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama
Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama
Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik
antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk
dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan
Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara
Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda
yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang
dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat
yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa
dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan
Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya
Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam
pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal
sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun
masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon
dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di
seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas
perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran
sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka
diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke
Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan
kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan
Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran
Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan
hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan
benteng yang kuat di Malaka.
Ketika Adipati Unus
kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut
berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti
Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah
Jawa.
Raden Patah wafat pada
tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang
Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakanpemberontakan dari
daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang
Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak
di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam
pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang
yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah yang pernah
berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi.
Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan
Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas
bantuan Pajajaran.
Mengapa Pajajaran
membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan
wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu
merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran
menyetujuinya.
Mengapa Pasukan gabungan
Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati
tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya
Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari
pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara
dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan
setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang.
Akhirnya Portugis dan
Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak
menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari
gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak
menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama
Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi
penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.
Fatahillah kemudian
diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya
untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.
Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil
yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang
hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu
Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak
dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam
peperangan itu.
Kemenangan demi
kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama
dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu
Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian
diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin
tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan
Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon
sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang
Sultan.
`Sunan Gunungjati lebih
memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren
Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad
Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian
diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin,
dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan
sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon
I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan
Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya
Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat
pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa
beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus
Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu
berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Demikianlah riwayat
perjuangan Sunan Gunungjati.
*****