BAB VIII
Sunan Kudus
1.
Asal - Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan
Kudus adalah Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan.
Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah utara kota Blora.
Didalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan
Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit.
Sunan Ngudung selaku
senopati Demak berhadapan dengan Raden Timbal atau Adipati Terung dari
Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian
itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati
Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri bernama asli
Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir
saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka
dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit
akhirnya berimbang.
Selanjutnya melalui
jalan diplomasi Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat
dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan
bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan
berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan
menggempur tentara Majapahit hingga ke belah timur.
Pada akhirnya perang itu
dimenangkan oleh pasukan Demak.
2.
Kebijakan Sunan Kudus Dalam Menyebarkan Agama Islam
Di samping belajar agama
kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama
terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing. Nama asli Kiai Telingsing ini
adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang
ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam
sejarah Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa
mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui
perdagangan.
Di Jawa, The Ling Sing
cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur
yang terletak diantara sungai Tangulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur.
Disana beliau bukan hanya mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan
kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang
berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jakfar Sodiq itu
sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Jakfar Sodio
mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan
kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar
bagi kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu takkala
menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden
Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke
Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau
menunaikan ibadah haji. Dan kenetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar di
atasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil
melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar
jumlahnya.
Sudah banyak orang
mencoba tapi tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq
menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan
sinis.
“Dengan apa Tuan akan
melenyapkan wabah penyakit itu ?” tanya sang Amir.
“Dengan do’a,” jawab
Jakfar Sodiq singkat.
“Kalau hanya do’a kami
sudah puluhan kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama dan
Syekh-Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit
ini.”
“Saya mengerti, memang
Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya
sehingga do’a mereka tidak terkabulkan,” kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani
Tuan berkata demilian,” kata Amir itu dengan nada berang.
“Apa kekurangan mereka
?”
“Anda sendiri yang
menyebabkannya,” kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan
hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga do’a mereka tidak ikhlas.
Mereka berdo’a hanya karena mengharap hadiah.”
Sang Amirpun terbungkam
atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu
dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disiasiakan. Secara khusu
Jakfar Sodiq berdo’a dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah
penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang
menderita sakit keras mendadak saja sembuh. Bukan main senangnya hati sang
Amir.
Rasa kagum mulai
menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada
Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang
berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itupun dibawa ke
Tanah Jawa, di pasang di pengimaman masjid yang didirikannya sekembali dari
Tanah Suci.
Jakfar Sodiq adalah
pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus atau
Tutwuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal,
melainkan diarahkan sedikit demi sedikit menuju ajaran Islami.
Rakyat kota Kudus pada
waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan
sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada
akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena masjid yang
dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan
Kudus.
3.
Cara Berdakwah Yang Luwes
Di Kudus pada waktu
penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka
masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Juga mereka yang masih memeluk
kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit.
Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq harus berjuang menegakkan
agama.
Pada suatu hari Sunan
Kusus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo
Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan
kapal besar.
Sapi itu ditambatkan di
halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu
tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi
itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan
para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu
apa yang akan dilakukan Sunan Kudus ?
Apakah Sunan Kudus
hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan
menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya
sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik
yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang
bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang
saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” Sunan Kudus membuka suara.
“Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di
waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang
menyusui saya.”
Mendengar cerita
tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar
Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan
ceramahnya.
“Salah satu diantara
surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau
dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik.
Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk
itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan
Kudus.
Demikianlah, sesudah
simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat
berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga
tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu. Lihatlah Menara Kudus
yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena
keanehannya. Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya
karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang
dikeramatkan ummat Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menyaring ummat
Budha.
Caranya? memang tidak
mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid berdiri, Sunan
Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah
delapan. Masing-masing pancuran diberi arca diatasnya.
Hal ini disesuaikan
dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga”
yaitu
1. | Harus memiliki pengetahuan yang benar. |
2. | Mengambil keputusan yang benar. |
3. | Berkata yang benar. |
4. | Hidup dengan cara yang benar. |
5. | Bekerja dengan benar. |
6. | Beribadah dengan benar. |
7. | Dan Menghayati agama dengan benar. |
Usahanya itupun
membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus
memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Didalam
cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal
mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat
lama.
Seperti diketahui
bersama Rakyat Jawabanyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang kadangkala
bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan, selamatan
mitoni, neloni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara
ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam
bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan
Muria.
Contohnya, bila seorang
istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang
disebut yang mitoni sembari minta kepada Dewa bahwa bila anaknya lahir supaya
tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi
Ratih.
Adat tersebut tidak
ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan dalam bentuk
Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim
sesaji kepada para Dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan boleh
di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan
anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila
perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus
sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur’an.
Berbeda dengan cara
lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di
ikrar hajatkan di ikrarkan oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah
upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan
di candi, di kuburan atau ditempat-tempat sunyi di lingkungan rumah tuan
rumah.
Ketika pertama kali
melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang
seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid.
Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah
atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Setelah masuk masjid,
rakyat harus membasuh kakinya dan tangannya di kolam yang sudah disediakan.
Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau,
terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau
hanya bermaksud mengenalnya syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya
masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya ? Karena iman mereka atau tauhid mereka
belum terbina.
Maka pada kesempatan
lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah
membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa.
Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus
menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat.
Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan
perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama,
dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang
mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu
kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid,
baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar
mereka tak perduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh
kaki dan tangannya
lebih dulu, yang
lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil
menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan
menghormatinya.
Cara-cara yang ditempuh
untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah
agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali
menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut
beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
4.
Tantangan Ki Ageng Kedu
Bahwa Sunan Kudus itu
seorang Wali berilmu tinggi dan sakti sudah dimaklumi masyarakat, tapi ada
seorang yang merasa lebih sakti daripada Sunan Kudus. Orang itu bernama Ki Ageng
Kedu. Seorang sakti hanya memiliki ilmu peringan tubuh sedemikian rupa sehingga
hanya dengan melemparkan tampah ke udara kemudian dia meloncat hinggap di atas
tampah itu diapun dapat terbang menurut keinginannya.
Pada suatu hari Ki Ageng
Kedu yang penasaran atas kesaktian Sunan Kudus ingin mencoba adu kesaktian.
Seperti biasa, dia mengambil tampah kemudian terbang ke daerah Kudus.
Orang-orang yang melihatnya merasa kagum dan heran, Ki Ageng Kedu lewat begitu
saja dengan cepatnya di atas rumah-rumah penduduk. Sewaktu berada di daerah
Kudus ia tidak langsung turun dari tampahnya, mala tertawa ngakak berkeliling
kota Kudus. Muridmurid Sunan Kudus sudah penasaran melihat kepongahannya, tapi
saat itu Sunan Kudus belum keluar dari Masjid, beliau masih membaca dzikir
seusai shalat. Dia juga tak merasa heran saat keluar dari masjid melihat Ki
Ageng Kedu berteriak-teriak memanggil namanya.
“Hai Sunan Kudus ayo
keluarlah! Hadapilah aku Ki Ageng Kedu yang hendak menantangmu adu kesaktian
!”
Tiba-tiba Sunan Kudus
menundingkan tangannya ke arah Ki Ageng Kedu sembari berkata, “Aku di sini Ki
Ageng Kedu !”
Seketika tersirap darah
Ki Ageng Kedu. Tampah yang dikendarainya mendadak oleng kesana-kemari. Tak
terkendalikan lagi, tubuhnya yang ringan mendadak berubah menjadi berat dan
segera tersedot oleh gaya tarik bumi, bahkan seperti dihempaskan oleh tenaga
gaib yang tak tampak oleh mata. Tubuh Ki Ageng Kedu terlempar ke tanah yang
becek, yang
dalam bahasa Jawanya
disebut Jember, hingga sekarang tempat Ki Ageng Kedu itu jatuh disebut
Jember.
Setelah roboh ke tanah
yang becek dan kotor, segala kesaktian Ki Ageng Kedu lenyap seketika. Dia telah
berubah menjadi manusia biasa, tak bisa terbang lagi seperti dulu.
5.
Sunan Kudus Sebagai Seorang Senopati
Sunan Kudus di dalam
Babad Tanah Jawa disebut sebagai Senopati atau Panglima Perang Kerajaan Demak
Bintoro. Juga Senopati Waliullah artinya beliau itu menjadi Senopatinya para
Wali. Sebagai Senopati Kerajaan Demak beliau pernah memimpin peperangan melawan
Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Adipati Terung.
Sedangkan sebagai
Senopati para Wali beliau pernah ditugaskan untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar,
seorang Wali yang meremehkan syariat sehingga dianggap sesat. Pada bagian ini
akan diceritakan secara singkat tugas Sunan Kudus di saat haus berhadapan dengan
seorang murid Syekh Siti Jenar yang masih punya darah keturunan dari Raja
Majapahit. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak
dapat tidur, sebabnya malam itu terdengar auman harimau secara terus menerus.
Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan
masuk ke dalam desa.
Tapi sampai pagi tidak
ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka
beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan
itu ada harimaunya.
Di tengah hutan, bukan
harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah
putih yang tampak agung berwibawa. Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus dan
tujuh prajurit Demakyang menyamar sebagai santri biasa.
“Apakah tuan melihat
harimau di sekitar hutan ini ?” Tanya tetua desa.
“Tidak,” jawab Sunan
Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor
harimau.”
“Aneh, semalam kami tak
dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,” Guman tetua
desa.
“Kalau begitu namakanlah
tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada
Sima.” Kata Sunan Kudus.
Tetua desa itu menurut,
hingga sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan desa Sima. Sunan Kudus
kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga
atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Tiga tahun yang lalu,
diawal tampak pemerintahan Raden Patah. Patih Wanasalam telah diutus untuk
menemui Ki Ageng Pengging. Tujuannya adalah untuk meminta ketegasan Ki Ageng
Pengging, apakah Ki Ageng Pengging bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja
Demak Bintoro dan penerus dinasti Majapahit atau sebaliknya Ki Ageng Pengging
ingin menjadi Raja Demak ?
Pertanyaan itu tidak
pernah dijawab dengan tegas oleh Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam orang
kepercayaan Raden Patah, memberi batas waktu tiga tahun untuk berfikir dan
menentukan pilihan.
Kini tiga tahun telah
berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten
Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati
Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah
tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Walau
tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan
Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajurit masih setia kepadanya, mereka
menyembunyikan di balik baju petani. Tapi sewaktu-waktu mereka bisa di gerakkan
di saat diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.
Hal ini di sadari oleh
pemerintah pusat Demak Bintoro. Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus
untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini. Suasana Kadipaten Pengging
benar-benar lenggang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang
masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan, di pusat bekas
pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak
seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus
memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri
berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya
kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima,
yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan saat dia
kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan
berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui
kegagalan. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita
setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud
kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
“Maaf Tuan, sudah
beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa
menemui tamu.” Kata pelayan itu.
“Aku bukan tamu biasa,”
Kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin
bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”
Pelayan itu masuk ke
dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki
Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam
rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu
khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan
Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya
diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di
dalam? Di atas atau di bawah ?” Tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging
menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki
Wanasalam. Patih Demak Bintoro.
“Jawabanku tetap sama
dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging.
“Atas-bawah, luar-dalam
adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.
Jawaban itu bagi Sunan
Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin
menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak
Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini
pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak !
Bahwa Ki Ageng Pengging
itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya.
Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari
Syekh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkan sama sekali.
“Saya pernah mendengar
bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” Kata Sunan
Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu ? Saya ingin melihat
buktinya.”
“Memang begitu !” Jawab
Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saya aku ini maka aku akan menurut apa yang
kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja,
memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau
anggap aku ini Allah aku memang Allah !”
Klop sudah! Ki Ageng
Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau
berfilsafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang
disiarkan para Wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kudus juga
cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh,
kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus
bermaksud menggorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan
diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki
Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati didalam hidup. Saya ingin melihat buktinya
?”
“Jadi itukah yang
dikehendaki Sultan Demak” Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau
harus membuat sebab kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku
saja yang mati.” Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng.
“Tusuklah siku lenganku
ini ……! Ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.
Sunan Kuduspun
melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki
Ageng Pengging. Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan
langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan
menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak
menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di
ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya
dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus.
200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin oleh bekas Senopati Kadipaten
Pengging mencabut senjata dan berteriak-berteriak memanggil Sunan Kudus dari
kejauhan.
Sunan Kudus berhenti.
Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang
berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar kearah timur, padahal
Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian
ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu harus berbuat
apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka,
akhirnya mereka dibuat sadar kembali.
“Jangan turut campur
urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi
dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak
memberontak! nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan
ini.
Pulanglah !” Suara Sunan
Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti
baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak
Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan
mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih
penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” Kata Sunan Kudus.
“Segeralah kalian urus
jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin
kalian.” Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka
kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus
sangat dihormat para penguasa pada jamannya. Baik oleh Raja Pajang yaitu Sultan
Handiwijaya maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang.
Beliau wafat dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara
Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera
teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar