BAB IX
Sunan Muria
1. Asal usul Sunan
Muria
Beliau
adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said.
Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil
ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan
agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria
yang salah satu puncaknya bernama Colo.
Letaknya di sebelah utara kota Kudus.
Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan,
pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan
kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan
beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2. Sakti
Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang
sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak di
atas gunung. Menurut pengalaman penulis jarak antara kaki undag-undagan atau
tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria (tidak kurang dari 750
M).
Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan
istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik-turun, turun-naik guna
menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para
nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa
adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan
untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan
Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang
sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi
Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang
disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus
sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan
syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-murid
diundang semua. Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa
dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang
yang dari jauh.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan
adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman.
Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang
berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekarmekarnya. Bagi Sunan
Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan
matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan
Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata
tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid
Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Roroyono masih
kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempersona, sekarang, gadis itu
benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir
melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang
menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan
ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang
ajar. Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu
berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas
disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja
ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya
marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan
kekonyolannya itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau
tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Roroyono masuk ke dalam
kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak
Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya
masing-masing.
Tamu dari jauh terpaksa menginap dirumah
Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah
malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit dari
tidurnya mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disiramnya sehingga tak
sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa
lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah
Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya di culik
oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa
putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang
menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan
kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan
Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng
Roroyono dari tangan Pathak Warak,” Kata Sunan Muria.
Tetapi, ditengah perjalanan Sunan Muria
bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang
sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan
Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa ?”
tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang
dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria
sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri
untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan
Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang
berusaha merebut di Ajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak
mengawininya, kami hanya sekedar membantu.” Demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup merebutnya sendiri,”
Ujar Sunan Muria.
“Itu benar, tapi membimbing orang
memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti
sanggup merebutnya kembali.” kata Kapa ngotot. Sunan Muria akhirnya meluluskan
permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang
hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan
Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan
Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Sprapat yang
dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil.
Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke
Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan
beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau !” Bentak
Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda
terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir ! Jangan menghalangi jalanku !”
Hardik Pathak Warak.
“Boleh, asal kau kembalikan Dewi
Roroyono !”
“Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan
Gentiri ! Kini aku hendak mengejar mereka !” Umpat Pathak Warak.
“Untuk apa kau mengejar mereka
?”
“Merebutnya kembali !” jawab Pathak
Warak dengan sengit.
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku,
Roroyono telah dijodohkan denganku !” Ujar Sunan Muria sambil pasang
kuda-kuda.
Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat
dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar
harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang
kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau
roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi
lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan
perjalanan ke Juana, kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena
Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang
memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang
pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.
Upacara pernikahanpun segera
dilaksanakan.
Kapa da Gentiri yang berjasa besar itu
diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi
orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan. Sedang Sunan Muria segera
memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena
merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan
Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka
terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak
dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu
sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan
jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang
nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran
agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan
mereka (kemaluan). Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah
dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan
tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan
mata.
Kini Kapa dan Gentiiri benar-benar telah
dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan
Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama
secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke
Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh
murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dasyart. Apalagi ketika Sunan
Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri
tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke
berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia
datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorangpun yang
mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya
sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang
berilmu rendah .......... yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan
mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau
Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari
Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang.
Datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama
lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi
Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu
hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu
ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang
perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia
itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akirnya tertarik dan masuk
Islam secara suka rela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau
Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
“Memalukan ! benar-benar nista
perbuatanmu itu ! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu !”
hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku
ini muridmu ? Mengapa tidak kau bela ?” protes Kapa.
“Apa ? Membela perbuatan durjana ?”
Bentak Wiku Lodhang Datuk.
“Sampai matipun aku takkan sudi membela
kebejatan budi perkerti walau pelakunya itu muridku sendiri !”
Perdebatan antara guru dan murid itu
berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu.
Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek ditanah dalam
keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut
dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono
untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya
sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar
jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata, serangan dengan mengerahkan
aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah
ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa
mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu
akhirnya merengut nyawa nya sendiri.
“Maafkan saya Tuan Wiku ….. “ ujar Sunan
Muria agak menyesal.
“Tidak mengapa, sudah sepantasnya dia
menerima hukuman ini. Menyesal aku telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata
ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” Guman sang Wiku.
Dengan langkah gontai sang Wiku
mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau
dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria
kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar