BAB V
Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan
bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra
Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang
mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang
berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah
beragama Islam yaitu Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali
yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa, tentu saja
Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
Sejak kecil, Raden
Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat
dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka
Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai
literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja
meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai.
Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari
Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri
Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, Arab dan
Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden
Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri
sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Sedang Raden Makdum
Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di
Tuban. Dalam berdakwa
Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik
simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.
Bonang adalah sejenis
kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan
kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu,
beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.
Setiap Raden Makdum
Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin
mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan
Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum
Ibrahim.
Begitulah siasat Raden
Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang
diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.
Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati,
bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang
terkenal ialah :
“Tamba ati
iku sak warnane,
Maca Qur’an
angen-angen sak maknane,
Kaping pindho
shalat sunah lakonona,
Kaping telu
wong kang saleh kancanana,
Kaping papat
kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima
dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé
bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit
jiwa (hati) itu ada lima jenisnya.
Pertama
membaca Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua
mengerjakan shalat malam (sunnah Tahajjud),
Ketiga sering
bersahabat dengan orang saleh (berilmu),
Keempat harus
sering berprihatin (berpuasa),
Kelima sering
berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja
mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.
Hingga sekarang lagi ini
sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan
maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik
yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering
mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan
Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang
karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh
keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di
PerpustakaanUniversitas Leiden, Belanda. (Nederland)
Suluk berasal dari
bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tarikat.
Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar
atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk
prosa disebut Wirid.
Dibawah ini adalah Suluk
karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.
Suluk
Wragul
Dhandhhanggula
Wragul
1
Berang-berang,
jika diteliti ini raga
Belum ketemu
hakikatnya
Ada atau
tidakkah ia
Sebenarnya
aku ini siapa
Impian
beraneka ragam
Kalau
dipikirkan
Akhirnya
menyedihkan
Yang mustahil
banyak sekali
Segala wujud
di semesta ini
Tak
putus-putus sama sekali
Wragul
2
Maka
dengarlah perlambang ini
Ada kera
hitam sedang berdiri
Di tepi
sungai
Tertawa keras
tak kepalang
Kepada
berang-berang yang mencari makan
Siang dan
malam
Terus tanpa
kesudahan
Tak ingat
bahwa ia diciptakanTuhan
Yang diingat
hanya makanan
Tanpa
memperdulikan
Bahaya
mengncam
Wragul
3
Dilalapnya
apa saja ia dapatkan
Tidaklah ia
memperhatikan
Tuhan Yang
Maha Agung yang menciptakan
Mustahil ia
tak sanggup memberi makan
Dari
kehidupan hingga kematian
Apapun saja
yang dikodratkan
Telah
disesuaikan
Ulat dalam
batu pun diberi santunan
Maka jangan
hanya suntuk mencari makan
Wragul
4
Akibatnya
terlupa bahwa ia ciptaan Allah
Berang-berang
berkata dengan ramah
Duh kera
hitam, sungguh engkau kejam
Kau paksa aku
mengikutimu
Yang kata
orang tanpa dipikirkan
Ya, aku
terpaksa
Mencari
makan, tapi tidaklah
Dengan susah
payah
Sekedar
semampu diriku ini
Aku tak
mencari-cari
Wragul
5
Hak orang
lain tak kurebut
Tak
kuperhatikan bencana dan kutuk
Tak kulihat
yang hidup
Demikian
pulalah halnya burung elang
Mengikuti
tenggiling untuk cari makan
Susah untuk
memberi peringatan
Jika engkau
merasa
Sebagai
makhluk Tuhan adanya
Janganlah
hati mendua
Tak usah
campuri urusan orang lain
Karena semua
punya kadar masing-masing
Wragul
6
Sudah diberi
hak hidup sendiri-sendiri
Seperti juga
berbagai tetumbuhan ini
Atau yang
memakan dedaunan
Mengikuti
takdir Tuhan
Siapa akan
mengikuti kata-katamu
Siapa
menuruti ajakanmu
Sedangkan di
hutan tempatmu
Sang kera
hitam menjawab
Tidaklah akan
kuubah
Makananmu,
hanya ingatlah
Kepada yang
memberi makan kepadamu
Wragul
7
Perbuatlah
amal kebajikan
Terpaksa
harus kuberitahukan
Hal-hal yang
berfaedah saja
Sekedar
menunjukkan yang benar adanya
Jawab
Berang-berang
Tahulah
aku
Maksud
omonganmu
Kau
inginkan
Agar kuberi
kau makan
Tapi aku tak
akan tunduk kepadamu
Wragul
8
Ibarat sudah
tahu kebohongannya
Mulut jujur
hati berdusta
Karena
memaksa harus berbuat begini
Menghormat
kepada yang belum mengerti
Agar
dipercaya di dunia ini
Berapa
kekuatannya
Tak tahu
bahwa
Dengan
bertapa sesungguhnya bersembunyi
Ingin kulihat
mana pendeta yang benar-benar sakti
Kalau
berhasil melebihi
Wragul
9
Kelihatannya
luhur dan mulia
Serba benar
pembicaraannya
Tuntas luar
dalamnya
Bagus
penampilannya
Kena kotoran
sedikitpun tak bersedia
Seperti
burung elang akibatnya
Terbang
tinggi
Lupa melihat
kanan kiri
Begitu musuh
disiasati
Selamat
sampai akhir hari
Wragul
10
Apabila
ibarat ikan
Ikan
gegenjong yang lemah badannya
Namun tajam
tajinya
Hai kera
hitam
Mana
kata-katamu yang benar
Yang
diharamkan ditolaknya
Itu kalau
sedikit jumlahnya
Dan walaupun
haram
Tapi kalau
ada sedikit manisnya ditutupi
Dengan amat
tersembunyi
Wragul
11
Jelas itu
dicampur aduk
Ada yang
diucapkan dengan pura-pura
Yang terlihat
tindakannya
Pujangga
maupun pendeta
Sama-sama
kurang budinya
Aku tahu
semuanya
Sama-sama
meminta-minta
Hanya satu
dua yang mengamalkan
Meminta tanpa
dibantah
Walaupun
tidak sungguhan
Wragul
12
Kikir kalau
dimintai
Lagaknya
seperti pendeta sakti
Usaha seakan
tak henti
Dalam hidup
ini hendaklah mengerti
Upaya orang
lain
Dalam hidup
ini seyogianya
Tak demikian
tindakannya
Di mana ada
niat yang tak semestinya
Kata ahli
kitab tak mau makan riba
Sebab ia
pendeta
Wragul
13
Orang besar
orang kecil berebut bersaing
Berupaya
menggunakan akal masing-masing
Yang namanya
raga manusia
Siap
semuanya
Untuk beramal
senantiasa
Sedangkan apa
kelebihan pendeta
Sibuk
mengolah ilmu pengetahuan
Rahasianya
mencari pekerjaan
Berkah yang
melimpah diharapkan
Jaksa pun
demikian
Wragul
14
Demikianlah
yang tersembunyi pada para penulis
Mencari
nafkah dengan menipu mengemis
Supaya ada
kaulnya
Demikian para
dukun adanya
Menjual
mantra
Juga para
guru yang terhormat
Mengajarkan
ilmu luhur
Sama saja
yang diharapkan
Yaitu
pengabdian murid
Seperti
burung kuntul
Wragul
15
Bertapa ada
tujuannya
Agar
memperoleh ikan di rawa
Agar semua
itu kena olehnya
Adapun yang
bertapa di gunung
Tujuannya
pun
Untuk
memperoleh Negara
Oleh
masyarakat dipercaya
Begitu yang
namanya pendeta
Terus menerus
bertukar pikiran
Berbuat
kepercayaan dalam pemerintahan
Wragul
16
Pendapat yang
benar ditentang
Mencari saksi
makin kesulitan
Diuji dengan
kepercayaannya
Tak tahu
bahwa terlalu asyik ia
Membicarakan
keburukan orang
Sementara
pada dirinya sendiri tak kelihatan
Padahal
kejelekannya sebesar gunung
Lagi pula ia
tertarik pada rupa
Serta
keanekaragaman suara yang masuk telinganya
Dari awal
hingga akhir diterimanya
Wragul
17
Karena banyak
orang membingungkan
Tersandunglah
ia di tempat yang rata
Sembuh, tapi
mati akhirnya
Yang samar
dikira nyata
Yang
bukan-bukan dikira mengalir
Yang duduk
dikira air
Yang tidak
terlihat
Senantiasa
melihat cela orang lain
Sedang aku,
cari makan tak sembunyi-sembunyi
Sang kera
bicara gusar
Wragul
18
Ya, kamu
jadinya
Mencela
tingkah laku pendeta
Kalau
begitu
Kamu pantas
diburu
Hidupmu
bagiku gambling
Merintangi
pekerjaan
Kemudian sang
berang-berang
Berucap : Apa
maumu !
Seraya
merunduk sambil menerjang
Tapi telah
meloncat si kera hitam
Wragul
19
Pada dahan
kayu sambil bersiaga
Sehingga
mengagetkan kera-kera lainnya
Semua pun
angkat bicara
Dengan bahasa
lambang mereka
Marah
mereka
Siapa saja
yang mencela pendeta
Boleh kita
mengejarnya
Sampai mati
ia
Semua kera
mengepung di pinggir sungai itu
Tapi
berang-berang sudah tahu
Wragul
20
Ketika sudah
berkumpul semua kera hitam
Berang-berang
masuk ke dalam air pelan-pelan
Karena kera
sebanyak itu tidaklah terlawan
Kemudian si
berang-berang
Sambil makan
ikan, memberi peringatan:
Kera hitam,
pulanglah kau
Bersama
teman-temanmu
Sebab siapa
tahu si empunya datang
Yang di
sungai ini ia punya larangan
Siapa tahu
firasat ia dapatkan ……….
Wragul
21
Sanggupkah
kau lindungi teman-temanmu ?
Maka semua
kera hitampun bubar berlalu
Agaknya
mereka malu
Dan sang
berang-berang keluar dari air
Mengamati
kiri kanan dengan rasa khawatir
Kalau-kalau
masih ada kera yang belum menyingkir
Sang
berang-berang berkata dalam hati
Berangan-angan
ia
Kera hitam
merasa suci dirinya
Mencela orang
yang sedang mencari mangsa
Wragul
22
Memang
perbuatan yang cemar
Adalah
perbuatan melanggar
Hanya saja
tak terlihat
Sungguh, cari
saja yang mempunyai
Kebahagiaa,
berlakulah laku sejati
Meskipun
seorang pendeta
Seulung
apapun ia
Jika menulis,
lupa beribadah
Dirinya
sendiri tak tampak olehnya
Karena orang
lain saja yang dilihatnya
Wragul
23
Jadi, tingkah
laku orang peroranglah
Yang
merupakan makanan kesukaannya
Kelihatan
bijak perbuatannya
Namanya
pujangga
Yang
terkandung di hati yang ditatapnya
Tapi setelah
keluar darinya
Terlihat ia
ingin menjiplaknya
Demikian
ibarat seekor burung
Bertengger di
pohon beringin yang terbalik
Wragul
24
Sementara
sang berang-berang
Bersoal jawab
dengan kera hitam
Turunlah
burung tuhu
Menanyakan
kesejatian
Mungkin
selama perbincangan itu
Yang demikian
yang diinginkan
Kepada
kalimat tauhid amat senang
Sehingga
dipertuhankan
Tak ingat
yang sungguh-sungguh Tuhan
Wragul
25
Lahir dan
batin, dulu dan kemudian
Baik buruk,
suka dan duka
Sudah nasib
manusia, tiada bedanya
Takdir Allah
yang Maha Agung
Siang malam
sembah puji senantiasa
Jika rahmat
tak datang juga
Jika belum
mencapainya
Masih ragu
adanya
Berterus
teranglah dalam memperolehnya
Demikian
burung tuhu berkata
Wragul
26
Sudah sebulan
aku berdampingan
Namun dengan
gagak belum tercapai kesepakatan
Sebab
semua
Yang ia makan
adalah kotoran
Jadi selalu
kuhindari
Tak akan aku
ikuti
Yang
najis
Sungguh
selama hidupku
Yang halal
saja makananku
Yang diajak
bicara menjawab begitu
Wragul
27
Tahu semua
pengetahuan
Namun tak
mengerti sastra agama
Dari mana
asalnya
Yang meskipun
seolah telah merasuk dihati
Tak mungkin
ditolak di dunia ini
Burung tuhu
berujar :
Walau manis
tutur katanya
Sebenarnya
takhyul yang dibeberkan
Sang berang
berkata : Pernah kudengar
Bahwa dalang
tak pernah ditanya
Wragul
28
Pemburu tak
henti berkelana
Ibarat burung
bangau bertapa di rawa
Tiada lain
niatnya
Kecuali
mencari ikan di air
Dimakannya
siang malam
Seperti
bangau botak
Seperti
kambing prucul
Maka orang
yang menjalani laku
Jangan cepat
melangkah dulu
Bertanyalah
kepada yang tahu
Wragul
29
Haruslah
lahir batin kalau memuji
Yang
diucapkan musti dimengerti
Yang dilihat
hendaknya dipahami
Juga segala
yang didengar
Betapa sukar
orang memuji
Maka
sebaiknya carilah guru
Yakni orang
yang lebih tahu
Yakni ahli
ibadah
Dan memujilah
hingga merasuki hati
Begitulah
orang melakukan sembah puji
Wragul
30
Kalau tak
tahu apa yang disembah
Hilanglah apa
yang disembah
Karena
sesungguhnya tak ada tirai itu
Tataplah
gunung
Dan bunga
dalam kesepian
Ikan tanpa
mata
Wahyu
sejati
Pandanglah
Arjuna
Kalau bertapa
tak tergoda
Oleh apa
saja
Wragul
31
Ada tiga
macam pepuji
Pertama
melihat yang disembah
Kedua melihat
rupanya
Ketiga tak
melihat
Kepada
sesuatu, namun
Menghadap
yang disembah
Ibarat
mencari
Dalang topeng
yang sedang melakukan pertunjukan
Tak beda
segala yang dimiliki
Berpadu satu
ragawi ruhani
Wragul
32
Kalau tak
begitu kafir jadinya
Yang namanya
gajah, gerangan mana ia
Sejauh-jauh
usiaku
Belum
mengerti hal itu
Ibarat
menyatukan perjalanan gajah
Dengan
petualangan burung garuda
Ibarat
menyatukan punggung dengan dada
Atau wayang
dengan kelirnya
Tapi
sesungguhnya cermin satu adanya
Wragul
33
Itu jelas
sama
Yang dicari
sedang tak ada
Tapi burung
tuhu sedang memahaminya
Ibarat malam
yang dibakar
Tak ada yang
dipikirkan
Ajaran dari
berang-berang
Biasanya
sudah diajarkan
Jiwa yang
hidup dan yang mati itu satu
Ingat bahwa
engkau dikuasai Tuhanmu
Wragul
34
Seperti
halnya tinta
Masih menyatu
dengan tempatnya
Jangan
menghindar meski mati bayarannya
Kalau hidup,
hiduplah seperlunya
Selalu
perhatikan guru
Jangan
seperti orang bermimpi
Atau seperti
burung yang disuruh berbicara
Mengikuti
kata-kata
Dijadikan
panutan pikirannya
Berang-berang
bersiap-siap menyingkir
Burung tuhu
terbang ke dahan
Wragul
35
Ketika
kemudian matahari terbenam
Terdengar
suara pertunjukan wayang
Tampaknya di
istana
Tergetar
tabirnya
Di depan
kelir berada semua wayangnya
Burung tuhu
tampak
Ki dalang
terlihat
Yang terlihat
gawang-gawangnya
Wayangnya
tiada, hanya dalangnya
Padahal tabir
penglihatan tidaklah ada
Wragul
36
Dalang dapat
bertukar rupa
Banyak orang
jatuh cinta
Menyaksikan
tingkah wayangnya
Terlihat
segala tingkah lakunya
Semua saling
jatuh cinta
Betapa
mendalam keinginan
Menatap sang
dalang
Namun dicari
tak ketemu
Meskipun
dengan susah dan rindu
Wragul
37
Lebih-lebih
jika kurenungkan ini
Dengan
teliti
Betul-betul
ingin bekerja
Terlalu penuh
perhitungan akhirnya
Atas kekayaan
orang-orang kaya
Maka kalau
tak paham
Jangan
ikut-ikutan
Sampai kapan
demikian
Sesungguhnya
engkau disuruh mencari kembali
Raga yang
tersembunyi
Dikisahkan beliau pernah
menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan
tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopot.
Begitu gending ditabuh
Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka
seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat
jahatnya.
“Ampun ..........
hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan
anak buahnya.
“Gending yang kami
bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati
kalian tidak buruk dan jahat.”
“Ya, kami menyerah, kami
tobat ! Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi .......... “
Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu,
teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan
mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata
Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan
tindak kejahatan lainnya.”
“Pintu tobat selalu
terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami
setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.
“Ya, walau dosamu
setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”
Akhirnya Kebondanu
benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula
anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang
berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang
masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban,
perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil
menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat
dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat
seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka
menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan
langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
“Saya datang dari India
hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan
Bonang.” kata sang
Brahmana.
Untuk apa Tuan mencari
Sunan Bonang ?” tanya lelaki itu.
“Akan saya ajak berdebat
tentang masalah keagamaan, kata sang Brahmana.” Tapi sayang kitab-kitab yang
saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.”
Tanpa banyak bicara
lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air
dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang
Brahmana.
“Itukah kitab-kitab Tuan
yang tenggelam ke dasar laut ?” Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan
pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki
berjubah putih itu.
“Apakah nama daerah
tempat saya terdampar ini ?” tanya sang Brahmana.
“Tuan berada di pantai
Tuban !” jawab lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan
diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapa lagi orang sakti
berilmu tinggi yang berada di kota Tuban selain Sunan Bonang. Sang Brahmana
tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan
mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan
menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.
Ada lagi legenda aneh
tentang Sunan Bonang.
Sewaktu beliau wafat,
jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk dimakamkan di samping Sunan Ampel
yaitu ayahandanya. Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa
bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di
sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar