BAB IV
Sunan Giri
1. Syeh Wali
Lanang
Di Awal
abad 14 M. Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu. Salah sorang
keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk
agama Hindu dan ada sebagaian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu
gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah
jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun
untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan
Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban
berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh
penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari
menjadi macet total.
Sang Prabu hampir putus asa penyakit
yang diderita putrinya. Dewi Sekardadu hanya terbaring di kamarnya, makin hari
tubuhnya makin susut, tinggal kulit pembalut tulang. Tanda putri itu masih hidup
hanyalah adanya nafas lemah yang masih keluar masuk dari hidungnya. Sepasang
matanya tetap terpejam dan wajahnya pucat pasi, hampir seperti mayat.
“Kanda Prabu ……” ujar permaisuri.
“Apakah Kanda tega membiarkan anak kita satu-satunya ini terus dalam keadaan
begini ?”
“Apa maksudmu Dinda ?” sahut Prabu Menak
Sembuyu. “Bukankah aku sudah berusaha mendatangkan semua ahli pengobatan di
negeri ini. Bahkan belum lama berselang telah mendatangkan tabib terkenal dari
Pulau Dewata. Kurangkah usahaku itu?”
“Bukan, bukan begitu maksudku Kanda
......”
“Lalu apa maumu ?”
“Buatlah sayembara,” kata permaisuri.
“Siapa yang dapat menyembuhkan putri kita akan kita beri hadiah, kalau perlu
kita ambil sebagai menantu.”
Prabu Menak Sembuyu terdiam beberapa
saat. Pada akhirnya dia setuju atas saran istrinya. Segera dia perintahkan
mahapatih kerajaan Blambangan yaitu Patih Bayul Sengara untuk mengumumkan bahwa
siapa yang dapat menyembuhkan penyakit putrid Dewi Sekardadu akan dijodohkan
dengan putrinya itu. Dan siapa dapat mengusir wabah penyakit dari Blambangan
maka akan diberi separo dari wilayah kerajaan Blambangan.
Sayembara disebar di hampir pelosok
negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada
seorangpun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara
itu.
Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu
Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bayul Sengara
untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan,
Patih Bayul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya
tinggal di puncak atau lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bayul Sengara
mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Berhari-hari mereka menempuh perjalanan,
masuk hutan keluar hutan, naik dan turun gunung. Pada suatu ketika mereka
bertemu dengan seorang Resi bernama Kandabaya.
Untuk membuktikan bahwa Resi Kandabaya
itu memang sakti, maka sengaja sang patih memerintahkan para prajuritnya
menyerang dan mengeroyok Sang Resi dengan senjata terhunus.
Sepuluh orang maju serentak
menyerangsang Resi yang sedang duduk terpekur dalam semedi. Resi itu seperti tak
menghiraukan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Sepasang matanya masih
terpejam. Tapi begitu sepuluh orang itu mendekat kearahnya dalam jarak dua
langkah tubuh mereka tiba-tiba terpental sejauh sepuluh tombak, tubuh mereka
terjerembab ke tanah, senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka meringis
kesakitan tanpa dapat bergerak untuk bangub lagi.
Patih Bajul sengara kaget mengetahui hal
itu. Tapi dia masih penasaran. Diam-diam dia mencabut kerisnya. Sang Resi masih
duduk bersila, sepasang matanya masih terpejam, Seperti tak terusik oleh prilaku
Patih Bajul Sengara dan anak buahnya.
“Ssssst !” tiba-tiba Patih Bajul Sengara
melempar kerisnya. Tepat kearah jantung sang Resi. Bukan sekedar lemparan biasa,
melainkan lemparan seorang Mahapatih kerajaan Blambangan yang tentu juga
memiliki kesaktian tinggi. Dan memang, lemparan keris itu disertai pengerahan
tenaga dalam tingkat tinggi.
Ujung keris itu meleset ke arah sang
Resi, hampir saja menyentuh dada Sang Resi. Namun tiba-tiba keris itu membalik,
melesat ke arah Patih Bajul Sengara. Patih Bajul Sengara melengak, secepat kilat
dia merundukkan badan. Keris itu melesat di atas tubuhnya. Menghantam sebatang
pohon sawo.
“Jresss !” keris itu terbenam ke batang
pohon sawo yang cukup besar, tinggal gagangnya saja yang tampak. Patih Bajul
Sengara hampik tak berkedip menyaksikan gagang kerisnya itu.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya Sang
Patih, dilihatnya batang pohon sawo itu mengeluarkan asap dan kulit pohon itu
menjadi hitam. Tak lama kemudian buah dan pohon sawo itu rontok, berguguran ke
tanah.
Serta merta Patih Bajul Sengara
menjatuhkan diri, berlutut didepan sang Resi. Resi Kandabaya masih dalam sikap
semula. Duduk bersila dengan mata terpejam. Seperti tak pernah terjadi suatu
apa.
“Ampun …… ampunilah kekurangajaran
hamba,” ujar Patih Bajul Sengara dengan terbata-bata.
Tak ada reaksi dari sang
Resi.
Tiba-tiba ada seekor merpati putih
hinggap di depan sang Resi. Merpati itu meletakkan selembar daun lontar yang
dijepit di paruhnya. Dan sesaat kemudian merpati itu mengeluarkan bunyi. (mbekur
istilah Jawanya). Aneh, sang Resi kemudian membuka sepasang matanya setelah
mendengar suara si merpati. Sang Resi tersenyum dan segera mengelus-elus sayap
merpati.
“Terima kasih Pethak ………” ujar sang
Resi.” Sekarang kau boleh bermain-main atau beristirahat sesukamu.”
Merpati itu mengangguk-anggukkan kepala,
seolah mengerti apa yang diucapkan sang Resi. Kemudian dia mengepakkan sayapnya,
terbang ke sebuah pohon kenari tak jauh dari Padepokan Resi
Kandabaya.
Sang Resi segera mengambil daun lontar
yang diletakkan merpati tadi. Dia seperti tak menghiraukan adanya Patih Bajul
Sangara yang membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai Padepokan.
“Ampun ......... ampunilah
kekurangajaran dan kelancangan hamba menganggu ketenangan Bapa Resi ......... “
Demikian ucap Patih Bajul Sengara.
Resi Kandabaya masih tak menghiraukan
sang patih. Dia sedang asyik membaca gurat-gurat berbentuk tulisan di daun
lontar yang dipegangnya. Sesudah membaca tulisan didaun lontar, sang Resi
bangkit berdiri. Berjalan kearah sepuluh prajurit yang menggeletak kesakitan
tanpa dapat bergerak. Hanya dengan beberapa kali tepukan pada bagian-bagian
tertentu di tubuh para prajurit itu maka kesepuluh anak buah Patih Bajul Sengara
dapat bergerak lagi dan rasa sakit di sekujur tubuh mereka telah hilang. Serta
merta sepuluh orang itu menjatuhkan diri berlutut didepan sang Resi.
Tapi Resi itu tidak menghiraukan mereka
lagi. Dia berjalan kearah Padepokan tempatnya bersemedi tadi. Tapi kali ini dia
tidak duduk bersemedi melainkan tegak didepan Patih Bajul Sengara.
Memang hebat dan sopan caramu bertamu
kemari hai Patih Bajul Sengara !” tegur sang Resi.
“Ampun bapa Resi ......... hamba harus
yakin bahwa orang yang hendak mintai pertolongan memang benar-benar mumpuni.”
ujar Patih Bajul Sengara.
“Ya, aku sudah tahu hal itu,” tukas sang
resi. “Kau hendak memintaku mengobati penyakit sang putri Dewi Sekardadu dan
mengusir wabah pagebluk dari Blambangan atas perintah Prabu Menak
Sembuyu!”
“Mohon ampun Bapa Resi, memang
demikianlah adanya kedatangan hamba kemari.”
“Tapi kau salah alamat Patih ! Wabah
penyakit itu sudah dikehendaki Dewata Agung. Aku tak mampu mengusirnya, juga tak
mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu.
“Tapi ……… hamba mohon petunjuk ……… “
kata Patih Bajul Sengara, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Mumpung bisa bertemu dengan tokoh seperti Resi Kandabaya dia harus memperoleh
hasil, setidak-tidaknya dia harus mendapatkan keterangan bagaimana cara
mengobati atau mendapatkan orang yang mampu mengobati Dewi Sekardadu.
Resi Kandabaya seperti mengerti apa yang
tersirat di hati Patih Bajul Sengara. Sesudah menarik nafas panjang karena kesal
melihat sikap sang Patih diapun berkata, “Baiklah Patih, aku akan memberimu
petunjuk. Pada saat itu hanya ada satu orang yang mampu menyembuhkan penyakit
Dewi Sekardadu sekaligus mengusir wabah penyakit dari seluruh wilayah
Blambangan. Tapi ……”,
Resi Kandabaya tidak meneruskan
ucapannya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Patih Bajul Sengara. Sang Patih makin
menundukkan mukanya, tak ada keberanian baginya untuk bertatap muka dengan Resi
yang terbukti sangat sakti itu. “Apapun yang terjadi, hamba ……… juga Gusti Prabu
Menak Sembayu takkan peduli asal Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya.” ujar
Patih Bajul Sengara untuk menghapus keraguan Resi Kandabaya.
“Benarkah? Tapi aku tidak yakin,” sahut
sang Resi.” Akan terjadi sesuatu di luar perhitunganmu dan hal itu akan membakar
hatimu. Tapi baiklah, kalau kau ingin mengetahui orang yang hendak menyembuhkan
Dewi Sekardadu. Ikutilah merpati putih itu terbang.
Tapi kuperingatkan, jangan kau mencoba
bersikap kurang ajar kepada orang yang hendak menyembuhkan Dewi Sekardadu itu.
Dan apapun syaratnya yang diajukannya hendaknyan kau dan Prabu Menak Sembuyu
meluluskannya.”
“Segala pesan Bapa Resi akan hamba
perhatikan baik-baik.”
Sekarang sudah hampir malam,
beristirahatlah di Padepokan ini. Besok pagi kalian boleh berangkat menuju
gunung Selangu. Merpati putih akan mengantarmu hingga ke tempat
tujuan.”
Demikianlah, Patih Bajul Sengara dan
anak buahnya malam itu bermalam di Padepokan Resi Kandabaya. Esok harinya mereka
sudah bersiap-siap berangkat kegunung Selangu.
“Sampaikan salam perdamaian kepada
pertapa di gunung Selangu itu.” Pesan Resi Kandabaya sebelum Patih Bajul Sengara
meninggalkan Padepokan.
“Pesan Bapa Resi akan hamba sampaikan,”
jawab Patih Bajul Sengara penuh hormat.
Perjalanan ke gunung Selangu memakan
waktu yang cukup lama. Walau mereka naik kuda pilihan tapi pada tengah hari
barulah mereka sampai di gunung Selangu. Mereka terus mengikuti arah merpati
putih terbang menuju suatu tempat. Ketika jalanan semakin naik, maka mereka
menambatkan kudanya dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.
Akhirnya merpati penunjuk jalan itu
berhenti didepan sebuah goa. Saat itu hari mulai gelap. Tapi ada suatu keanehan,
dari dalam goa itu memancar sinar terang, sebuah cahaya yang mampu menerangi
tempat sekitarnya .
Patih Bajul Sengara memerintahkan para
prajurit pengiring untuk menunggu di luar goa. Dia sendiri segera berjalan
memasuki goa itu. Makin ke dalam makin terang cahaya yang memancar
itu.
Akhirnya sepasang mata Patih Bajul
Sengara terbelalak heran, ternyata cahaya itu bukan berasal dari sebuah lampu
atau benda melainkan berasal dari tubuh seorang berjubah putih yang sedang
bersujud di tanah. Seluruh tubuh dan pakaian orang itu mengeluarkan cahaya
terang benderang. Ingat pesan Resi Kandabaya maka Patih Bajul Sengara tidak
berbuat macam-macam yang justru akan membahayakan dirinya sendiri. Dengan
bersabar dia menunggu orang itu bersujud kemudian duduk bertafakkur. Setelah
selesai barulah Patih Bajul Sengara menyapanya.
“Saya Patih Bajul Sengara, datang kemari
dengan membawa pesan alam perdamaian dari Resi Kandabaya,” ujar sang
Patih.
Aku terima salam Resi Kandabaya,” ujar
pertapa itu. “Sudah lama aku bersahabat dengan Resi Kandabaya walaupun hanya
melalui selembar daun lontar yang diantar oleh merpati sang Resi.”
Patih Bajul Sengara lalu mengutarakan
maksud kedatangannya menemui sang pertapa. Pertapa itu mengangguk –anggukkan
kepala mendengar penjelasan sang Patih. “Sebelum aku menyatakan kesanggupanku
terlebih dahulu kuperkenalkan diriku ini, “kata pertapa itu. “Namaku Maulana
Ishak, berasal dari negeri Pasai. Aku bersedia mengobati Dewi Sekardadu dan
sekaligus mengusir wabah penyakit dari Blambangan dengan syarat bahwa Prabu
Menak Sembuyu dan keluarganya masuk agama Islam. Dan rakyat Blambangan bersedia
mendengar nasehatku.”
Barangkali inilah hal-hal yang termasuk
di luar perhitunganku, demikian bisik hati sang Patih. Soal pindah agama dia
tidak berani memberi keputusan. Untuk itu dia harus menghadap sang Prabu lebih
dahulu. Maka diapun berpamit kepada Syekh Maulana Ishak untuk pulang ke istana
Blambangan, menyampaikan persyaratan yang diajukan pertapa itu.
“Ya, ada baiknya anda berunding dengan
Prabu Menak Sembuyu lebih dahulu,” kata Syekh Maulana Ishak.
Terpaksa Patih Bajul Sengara kembali ke
Blambangan dan menyampaikan persyaratan yang diajukan Syekh Maulana Ishak kepada
Prabu Menak Sembuyu.
Tentu saja sangat berat bagi sang Prabu
untuk melepaskan agama lama yang terlanjur diyakini selama bertahun-tahun, namun
demi rasa kasih sayangnya pada Dewi Sekardadu, maka dia terpaksa memenuhi syarat
yang diajukan Syekh Maulana Ishak. Patih Bajul Sengara diperintahkan menjemput
Syekh Maulana Ishak. Sesampainya di goa gunung Selangu, Patih Bajul Sengara
dipersilahkan berangkat ke Blambangan lebih dahulu. Syekh Maulana Ishak akan
menyusul kemudian.
Tetapi betapa terkejut Patih Bajul
Sengara ketika sampai di istana Blambangan. Ternyata Syekh Maulana Ishak sudah
datang lebih dahulu. Bahkan sang Prabu Menak Sembuyu menegur keterlambatan sang
Patih.
Sadarlah sang Patih, bahwa Syekh Maulana
Ishak itu benar-benar pertapa sakti yang mumpuni. Dia yang menempuh perjalanan
naik kuda masih dikalahkan dengan Syekh Maulana Ishak yang datang ke istana
Blambangan hanya berjalan kaki.
Tiga malam Syekh Maulana Ishak melakukan
tirakat untuk mengobati Dewi Sekardadu. Di malam keempat, sesudah melaksanakan
shalat sunnah hajat ditiupkan wajah sang putri tiga kali. Seketika sang putri
membuka matanya dan bangkit dari tidurnya. Seluruh isi istana gembira
menyaksikan hal itu terlebih permaisuri dan Prabu Menak Sembuyu.
Prabu Menak Sembuyu menepati janjinya.
Syekh Maulana Ishak diambil menantu. Dijodohkan dengan Dewi Sekardadu. Sambil
menunggu keadaan tubuh Dewi Sekardadu supaya benar-benar pulih seperti sedia
kala, Syekh Maulana Ishak berkeliling ke seluruh negeri Blambangan untuk
memberikan nasehat dan memudarkan pengaruh pagebluk yang melanda rakyat
Blambangan.
Dari penyelidikan yang dilakukan oleh
Syekh Maulana Ishak akhirnya diketahui bahwa rakyat Blambangan sangat ceroboh
dalam menjaga kebersihan dan kesehatan mereka. Makanan sehari-hari mereka banyak
yang mengandung racun dan penyakit, cara mereka buang hajat disembarang tempat
dan mereka jarang mandi atau membersihkan tubuh mereka.
Setelah Maulana Ishak memberikan
penyuluhan merawat kesehatan dan membersihkan diri serta lingkungan tempat
tinggal. Dan nasehat itu dilaksanakan maka banyaklah rakyat Blambangan yang
sembuh dari sakitnya.
Hanya beberapa orang yang penyakitnya
tergolong berat terpaksa mendapat perawatan khusus dari Syekh Maulana Ishak. Dan
semuanya berhasil disembuhkan seperti sedia kala.
Tibalah pada hari yang ditentukan,
pernikahan Dewi Sekardadu dan Syekh Maulana Ishak dilaksanakan. Upacara
diselenggarakan dengan penuh meriah. Karena Syekh Maulana Ishak bukan hanya
berhasil menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu melainkan juga mengusir wabah
penyakit dari Blambangan maka dia juga diangkat sebagai raja muda atau Adipati.
Mendapat kekuasaan separo dari wilayah kerajaan Blambangan, sesuai dengan janji
yang diucapkan oleh Prabu Menak Sembuyu sendiri.
Menurut Babad Tanah Jawi, dalam upacara
pernikahan yang diselenggarakan itu sudah terjadi ketegangan antara Syekh
Maulana Ishak dengan pihak keluarga kerajaan. Yaitu disaat jamuan makan
dikeluarkan. Ternyata makanan yang dihidangkan kepada Syekh Mulana Ishak
kebanyakan adalah terdiri dari daging binatang haram, seperti babi hutan,
harimau, ular, kera dan lain-lain.
Posisi Syekh Mulana Ishak pada saat itu
sungguh sulit sekali. Kalau dia tidak mau menyantap hidangan itu nantinya
disangka bersikap sombong dan menghina Prabu Menak Sembuyu. Jika disantap
dagingnya terdiri dari hewan yang diharamkan agama Islam, maka diapun berdoĆ”
kepada Allah, memohon jalan keluar yang terbaik.
Sesuai berdoĆ” terjadilah sesuatu diluar
dugaan. Daging-daging binatang haram yang sudah dimasak itu tiba-tiba berubah
menjadi binatang hidup berloncatan kesana–kemari. Yang asalnya dari ular menjadi
ular, yang berasal dari harimau menjadi harimau, yang asalnya babi hutan menjadi
babi hutan. Tentu saja suasana menjadi panik. Pesta meriah geger, Syekh Maulana
Ishak mengajak isterinya pulang di Kadipaten baru yang harus
diperintahnya.
Syekh Maulana Ishak hidup berbahagia
bersama istrinya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sejak terjadinya
keributan pada jamuan makan itu Patih Bajul Sengara meniupkan isyu jahat kepada
Prabu Menak Sembuyu.
Menurut Patih Bajul Sengara, Syekh
Maulana Ishak sengaja mempermalukan sang Prabu dengan menghidupkan binatang yang
sudah dimasak dan siap dimakan para peserta pesta. Bukan hanya itu saja,
keberhasilan Syekh Maulana Ishak berdakwa mengajak rakyat Blambangan masuk Islam
dianggap membahayakan kedudukan Prabu Menak Sembuyu selaku penguasa tunggal
kerajaan Blambangan. Karena semakin hari semakin banyak pengikut Syekh Maulana
Ishak yang masuk Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat di wilayah kekuasaan istana
Blambangan pindah menjadi penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh Maulana
Ishak.
Lama-lama Syekh Maulana Ishak merebut
kerajaan Blambangan ini dari tangan Gusti Prabu, demikian hasut Patih Bayul
Sengara. “Ya, tidak mustahil dia akan berontak dan memaksa kita benar-benar
menjadi pengikutnya. Memang sejauh ini dia tidak tahu bahwa kita pura-pura saja
masuk Islam. Tapi pada akhirnya dia pasti mengetahuinya.
Prabu Menak Sembuyu memang hanya
pura-pura masuk agama Islam demi kesembuhan putrinya. Kini setelah termakan oleh
hasutan Patih Bajul Sengara dia mulai menaruh kebencian kepada menantunya
itu.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak
menjadi adipati baru di Blambangan.
Makin hari semakin bertambah banyak saja
pengikutnya. Hati Prabu Menak Sembuyu makin panas mengetahui hal ini. Sementara
Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan
hasutan-hasutan jahatnya.
Patih Bajul Sengara sendiri tanpa
sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan terror pada pengikut Syekh Maulana
Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak di
culik disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama. Walau kegiatan itu
dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak
mengetahui juga.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang
hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan
terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata
yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk
meninggalkan Blambangan.
“Sungguh tidak pantas seorang anak
menantu berperang melawan mertuanya. Lebih tidak tega lagi hatiku bila melihat
rakyat yang tak berdosa, sama-sama sewilayah Blambangan harus berperang
habis-habisan. Yang diinginkan Rama Prabu adalah diriku, maka relakanlah daku
pergi kembali ke Pasai. Bila anak kita lahir laki-laki berilah nama Raden Paku,
jika lahir perempuan terserah adinda menamakannya.
Demikianlah, pada tengah malam, dengan
hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan,
Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri.
Esok harinya sepasukan besar prajurit
Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten
yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele, walaupun
seluruh isi istana di obrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak yang
sangat dibencinya.
Sang Patih hanya dapat memboyong Dewi
Sekardadu untuk pulang ke istana Blambangan. Seluruh pengikut Syekh Maulana
Ishak sudah diperintah Dewi Sekardadu untuk menyerah agar tidak terjadi
pertumpahan darah. Patih Bajul Sengara untuk sementara merasa bangga atas
kemenangannya itu. Tapi sesungguhnya dendam kesumat masih membara di
dadanya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi
Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak
Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya
yang montok dan rupawan itu.
Bayi itu lain daripada yang lain,
wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Terlebih Dewi Sekardadu, dengan kelahiran
bayinya itu hatinya yang sedih ditinggal suami sedikit terobati.
Seisi istana bergembira.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara.
Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih saying keluarga istana selama
empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada
saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara
mengkambing hitamkan Syekh Maulana Ishak sebagai penyebabnya.
“Semua bencana yang menimpa rakyat
Blambangan ini disebabkan ulah Syekh Maulana Ishak. Dewa murka karena penduduk
Blambangan banyak masuk agama Islam dan meninggalkan kepercayaan lama. Jika
penduduk Blambangan ingin terhindar dari bencana kita harus kembali kepada agama
lama, dan melenyapkan semua bekas peninggalan Syekh Maulana Ishak,” demikian
kata sang Patih.
“Apa maksudmu dengan melenyapkan bekas
peninggalan Syekh Maulana Ishak itu?”
tanya sang Prabu.
“Salah satu diantaranya ialah bayi
keturunannya, Gusti Prabu !”
Maksudmu aku harus membunuh cucuku
sendiri ?”
“Benar gusti Prabu ! Cepat atau lambat
bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut
dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang
memancar dari jiwa bayi itu !” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang
dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil
keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya
itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror denga hasutan dan tuduhan
keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau demikian tiada juga dia
memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih
berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang
kelaut.
“Biarlah Dewata sendiri yang menentukan
nasibnya di Samodra.” Ujar sang Prabu kepada Dewi Sekardadu.
Tentu saja Dewi Sekardadu menangis
dengan suara menghayat hati. Ibu mana yang rela bayinya dibuang begitu saja
tanpa alasan yang masuk di akal. Apalagi tempat pembuangan itu adalah lautan
besar di selat Bali.
Dengan hati hancur ia ikut mengantarkan
upacara Pelarungan atau pembuangan bayi yang tak berdosa itu. Dengan tatapan
kosong ia memandang ke arah peti yang dibuang ke tengah lautan, peti itu makin
lama makin ke tengah pada akhirnya hilang dari pandangan mata. Meski demikian
wanita muda itu tidak beranjak dari tempatnya. Suasana di tepi pantai itu sudah
sunyi senyap, hanya debur ombak yang terdengar membentur batu karang. Matahari
mulai condong ke langit barat. Para prajurit yang diperintahkan menunggu Dewi
Sekardadu segera pulang ke istana, melaporkan prilaku sang putri yang masih
duduk tepekur di tepi pantai.
Di saat para prajurit meninggalkannya
itulah Dewi sekardadu beranjak dari tempatnya duduk. Dengan gontai dia
melangkahkan kakinya. Bukan ke istana Blambangan. Melainkan mengembara tanpa
tujuan yang pasti. Dan tak seorangpun dapat menemukannya lagi.
Belakangan baru diketahui bahwa sikap
benci sang Patih kepada Syekh Maulana Ishak adalah dikarenakan ambisinya untuk
dapat memperistri Dewi Sekardadu sendiri. Tapi ambisi itu memudar manakala
kenyataan berbicara lain, Dewi Sekardadu yang telah lama diimpikannya sebagai
batu loncatan untuk dapat mewarisi tahta Blambangan ternyata lebih dahulu di
sunting oleh Syekh Maulana Ishak.
Meski demikian ambisi itu tak pernah
padam. Setelah berhasil menyingkirkan Syekh Maulana Ishak dari bumi Blambangan,
dia berharap akan dapat berjodoh dengan Dewi Sekardadu yang telah menjadi janda,
demikian pikir sang Patih. Untuk itu dia harus menyingkirkan putra Syekh Maulana
Ishak, supaya Dewi Sekardadu benar-benar dapat melupakan suaminya yang dahulu
dan di belakang hari bayi itu tidak menjadi perintang cita-citanya.
Kini, setelah mendengar laporan para
prajurit bahwa Dewi Sekardadu yang duduk terpekur di tepi pantai hingga sore
hari ternyata sudah tidak ada di tempat. Patih itu kelabakan, dia perintahkan
ratusan prajurit untuk mencari sang putrid, namun itu sia-sia belaka. Sang Putri
seolah-olah lenyap di telan bumi.
Konon, Syekh Maulana Ishak sebelum
meneruskan perjalanan ke negeri Pasai sempat mampir ke Ampeldenta di Surabaya.
Kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dia berpesan, apabila bertemu dengan anak
yang pernah dibuang ke laut oleh Prabu Menak Sembuyu itu supaya dinamakan Raden
Paku dan hendaklah Raden Rahmat suka mendidiknya secara Islami.
Sudah barang tentu Sunan Ampel tidak
berkeberatan menerima amanat itu. Jika kita amati di dalam Babat Tanah Jawa,
sesudah pertemuan dengan Sunan Ampel, Syekh Maulana Ishak masih terus mengembara
di sekitar Pulau Jawa terutama di bagian Tengah. Dan kemudian beliau mendapat
sebutan Syekh Wali Lanang.
Kemudian berangkatlah Syekh Maulana
Ishak ke negeri Pasai. Mendirikan perguruan Islam di sana dan terkenal sebutan
Syekh Awwalul Islam.
Tetapi, berdasarkan bukti adanya makam
Syekh Maulana Ishak di Gresik dekat makam Maulana Malik Ibrahim, maka di duga
pada usia lanjut atau pada jaman kejayaan Sunan Giri. Syekh Maulana Ishak itu
kembali ke Jawa, mendampingi Sunan Giri yang memerintah di Giri Kedaton dan
kemudian wafat di Gresik lalu dimakamkan tak jauh dari komplek pemakaman Syekh
Maulana Malik Ibrahim.
2. Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu
dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada
ditengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat
bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk
memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu karang.
Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah,
seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang
berharga.
Nakhoda memerintahkan mengambil peti
itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya
terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa
gembira dapat menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang
yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak
berperikemanusiaan.
Nakhoda kemudian memerintahkan awak
kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak
maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju
dengan pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian
diluar perhitungan manusia biasa. Pertama hanya karena peti perahu ini tak dapat
bergerak, kemudian setelah peti ini kita buka perahu tak dapat bergerak maju.
Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan
pesatnya.
“Ini benar-benar kejadian gaib, kejadian
diluar perhitungan manusia biasa. Pertama hanya karena petiperahu ini tak dapat
bergerak, kemudian setelah peti ini kita buka perahu tak dapat melanjutkan
perjalanan ke Pulau Bali. Baiklah kita kembali saja ke Gresik, kita laporkan
kejadian aneh ini kepada majikan kita,” demikian kata Nakhoda kepada anak
buahnya.
Perahu itupun melaju cepat ke arah
Gresik. Tanpa ada halangan dan rintangan. Padahal berdasarkan perhitungan,
berlayar ke arah barat saat itu sama dengan menentang gelombang dan
badai.
Mereka tiba di pelabuhan Gresik dengan
selamat. Tetapi Nyai Ageng Pinatih merasa cemas melihat kapal perahu dagang
miliknya kembali lebih cepat dari biasanya. “Apa yang terjadi? Mengapa kalian
pulang secepatnya ini ?”
Lebih-lebih setelah diperiksa barang
dagangan masih utuh seperti semula. Nyai Ageng Pinatih mulai naik
pitam.
Nakhoda perahu tak banyak bicara, dia
perintahkan anak buahnya membawa peti berisi bayi ke hadapan Nyai Ageng
Pinatih.
“Peti inilah yang menyebabkan kami
kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau
Bali,” kata sang Nakhoda.
“Hanya karena peti? Apa isinya? Harta
karun?” hardik Nyai Ageng Pinatih.
“Inilah isinya, kata Nakhoda sembari
membuka tutup peti itu. Sepasang mata Nyai Ageng Pinatih terbelalak heran
melihat bayi montok, sehat dan rupawan menggerakgerakkan tangannya sembari
menatap ke arahnya.
“Bayi ………. ? Bayi siapa ini ?” guman
Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Begitu diangkat bayi itu tampak
tersenyum. Hati Nyai Ageng Pinatih berbinar-binar, seketika itu juga dia merasa
sangat suka pada si bayi. Lebih-lebih dia itu adalah seorang janda yang tidak
dikaruniai seorang putrapun.
“Kami menemukannya di tengah samodra
Selat Bali, jawab nakhoda kapal.
“Tengah samodra ?” ulang Nyai Ageng
Pinatih.
“Benar Nyai Ageng.”
“Lalu apa rencana kalian atas bayi ini
?”
“Banyak di antara kami yang menyukai
bayi itu dan mengambilnya sebagai anak. Tapi kami tahu betapa lama Nyai Ageng
mendambahkan seorang putra, maka lebih tepat kiranya bila Nyai Ageng yang
merawat dan membesarkan bayi itu.”
“Jelasnya kalian berikan bayi ini
kepadaku ?” Nyai Ageng menegaskan.
“Benar Nyai Ageng.”
Nyai Ageng Pinatih merasa sangat
berterima kasih kepada nakhoda dan anak buahnya. Memang sudah lama dia
mengingingkan seorang anak. Sebagai ungkapan rasa senangnya.... Kepada nakhoda
dan anak buahnya.
Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat
oleh Nyai Ageng Pinatih, seorang janda kaya raya yang disegani masyarakat
Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinati
kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang
muslimah yang baik, walau Joko Samodra bukan anak kandungnya dia merawat dan
membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Terlebih Joko Samodra itu ternyata
mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia sangat berbakti selalu bersikap
menyenangkan hati. Kepada orang yang lebih tua dia selalu menghormati dan
menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya dia tak pernah menyakiti atau
berbuat usil. Pendek kata Joko Samodra benar-benar merupakan profil anak yang
menjadi buah hati orang tua dan pantas dibanggakan setiap orang tua. Ketika
berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru
kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama
Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan
Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta
supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel
telah dapat mengetahui bahwa Joko Samodra bukanlah anak sembarangan. Muridnya
yang satu ini memiliki kecerdasan luar biasa. Semua pelajaran yang diberikan
mampu dicerna dan dihafal dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden
Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahajjud, mendoƔkan
murid-muridnya dan mendoƔkan ummat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum
berwudlu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di
asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada
sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau
tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid
yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada pada sarung
murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh,
Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
“Siapakah di antara kalian yang waktu
bangun tidur kain sarungnya ada ikatan ?” Tanya Sunan Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan ………. “acung Joko
Samodra.
Melihat yang mengacungkan tangan Joko
Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan.
Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra,
kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal usul
Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab
sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra di
temukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk
membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng
Pinatih.
Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri
datang ke Gresik untuk melihat peti yang masih tersimpan rapi itu. Berdasarkan
pengamatan Sunan Ampel peti itu memang berasal dari kalangan istana Blambangan,
hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah
Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syekh
Maulana Ishak yang dibuang ke tengah
samodra.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak
sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada
Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng
Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar
yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran
Majapahit itu.
3. Raden
Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta,
Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden
Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan
saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda
itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di negeri Seberang
sambil meluaskan pengalaman. “Di Negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai
negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah
ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana
tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para
santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi
kehidupanmu yang akan datang.”
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku
dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut
gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden
Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya
sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat
oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Sebaliknya
Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di
Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat
dicintainya.
Raden Paku menangis sesenggukan
mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan
kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak
diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal
dunia. Dalam hatinya telah bertekad untuk pada suatu ketika akan datang ke
Blambangan menuntut balas atas kekejaman kakeknya itu. Namun Syekh Maulana Ishak
segera meredahkan gelora hati Raden Paku yang masih berusia muda itu. “janganlah
kau diperbudak iblis sehingga berniat membalas dendam pada kakekmu, Ujar Syekh
Maulana Ishak.” Memang boleh kita membalas perbuatan jahat seorang dengan
balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Tapi memberi maaf itu lebih baik.
Jika engkau pemuda Islam yang baik yang tidak sama dengan pemuda lain dengan
menunjukkan kepribadian kita yang baik, sudah otomatis kita berdakwah dengan
perbuatan nyata.”
Karena nasehat ayahnya yang bijaksana
itu Raden Paku mengurungkan niatnya untuk membalas dendam pada Prabu Menak
Sembuyu. Toh raja Blambangan itu masih terhitung kakeknya sendiri.
Di negeri Pasai ulama besar dari negeri
asing yang menetap dan membuka pelajaran agana Islam kepada penduduk setempat.
Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua
pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri
maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku
dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga
kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Ta uhid
mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang
banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan
menjiwai kehidupan Raden Paku dalam prilakunya sehari-hari sehingga kentara
benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas
dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Guru-gurunya kemudian
memberinya gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai, dan
masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu
diperintahkan kembali ke Tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah
bungkusan putih berisi tanah.
“Kelak, bila tiba masanya dirikanlah
Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan
ini, disitulah kau membangun Pesantren,” Demikian pesan ayahnya.
Kedua pemuda itu kembali ke Surabaya.
Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah
Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke
Gresik kembali ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih. “Tiba masanya bagimu
untuk berbakti kepada Nyai Ageng Pinatih.” Kata Sunan Ampel. “Walau dia bukan
ibu kandungmu tapi dialah yang membesarkan dan merawatmu sejak kecil. Bantulah
dagangan ibumu sambil berdakwah. Orang-orang pendahulu kita juga melakukan
da’wah sambil berdagang.”
Demikianlah, Raden Makdum Ibrahim
berdakwah di Tuban dengan menggunakan gamelan untuk menarik masa maka akhirnya
dia dikenal sebagai Sunan Bonang. Sesuai dengan nama gamelan yang sering di
gunakan melantunkan lagu-lagu atau tembang keagamaan.
Sedang Raden Paku kembali ke Gresik
untuk membantu ibu angkatnya dalam mengurus perdagangan antar pulau.
4. Membersihkan
Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku
diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau
Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda kapal diserahkan
kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan
Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk
ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan
pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu terjual
habis di pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari
Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan
lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda.
Tapi kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku
membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk
setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah
menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, “Raden …… kita pasti
akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan
secara Cuma-Cuma ?”
“Jangan kuatir Paman, “Kata Raden Paku.
“Tindakan saya ini sudah tepat.
Penduduk Banjar pada saat ini sedang
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu
sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu memberikan
hartanya dengan membayar zakat kepada mereka ?. Saya kira belum, nah sekaranglah
saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.”
“Itu diluar wewenang saya Raden ,” Kata
Abu Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi
perahu supaya tidak oleng dihantam ombak dan badai ?”
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia
sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau
perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan
apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli. “Paman tak usah risau,” kata Raden Paku
dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu
dan pasir.”
Walaupun agak konyol tapi benar juga
akal itu, demikian pikir Abu Hurairah. Kapal itupun diisi dengan karung-karung
yang berisi pasir dan batu. Sekedar menjaga keseimbangan agar kapal itu tidak
karam dihantam badai.
Memang benar, mereka dapat berlayar
hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi
kebat kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng
Pinatih. Dugaan Abu Hurairah memang tepat.
Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya
demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
“Ibu jangan terburu marah-marah,” kata
Raden Paku. “Lebih baik ibu lihat dulu apakah isi karung-karung dalam kapal itu
?”
“Apakah yang dilihat lagi, Abu Hurairah
tak pernah berbohong kepadaku. Pasir dan batu apa susahnya mencari di Gresik
ini. Aku tidak keberatan barang dagangan itu kau sedekahkan kepada penduduk
Banjar yang menderita tapi pasir dan batu itu buat apa ?”
“Sebaiknya ibu lihat lebih dahulu !”
pinta Raden Paku.
“Sudah, jangan banyak bicara, buang saja
pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja !” Hardik Nyai Ageng
pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka
karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah menjadi
barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar,
kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang
barang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar. Sejak saat itu Nyai
Ageng Pinatih tidak berani menganggap sembarangan pada anak angkatnya. Dia yakin
kelak Raden Paku akan menjadi orang besar, seorang yang mempunyai kelebihan
dibanding pemuda-pemuda biasa lainnya.
5. Perkawinan Raden
Paku
Al-kisah, ada seorang bangsawan
Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai Sebuah pohon delima yang
aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah
delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa
penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia.
Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja
lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon
delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul
mencegat Raden Pakuh, dan ia berkata, “kau harus kawin dengan putriku, Dewi
Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah
mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan
selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden
Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan
Ampel.
“Tak usah bingung. Ki Ageng Bungkul itu
seorang muslim yang baik, aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik.
Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak
mengecewakan niat baiknya itu.” Demikian kata Sunan Ampel.
“Tapi .......... bukankah saya hendak
menikah dengan putri Kan jeng Sunan yaitu dengan Dewi Murtasiah ?” Ujar Raden
Paku.
“Tidak mengapa?” Kata Sunan Ampel.
“Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan
melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden
Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian
menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang Bangsawan Majapahit yang hingga
sekarang makamnya terawat baik di Surabaya. Sesudah berumah tangga, Raden Paku
makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau
menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di
kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak
memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan
mendirikan pondok Pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan
dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu
tidak keberatan. Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan
anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah
orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus
seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanta itu ikhlas melepaskan Raden
Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa
yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada
Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada, yaitu desa
Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan
ayahnya sewaktu belajar di Negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk
mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang di bawa dari Negeri
Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden
Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun
mencocokan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok
sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena
tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah pesantren Giri.
Giri dalam bahasa Sangsekerta artinya gunung. Atas dukungan istri-istri dan
ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel. Tidak begitu lama, hanya dalam
waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
6. Peranan Sunan Giri Dalam
Perjuangan Wali Sanga
Dimuka telah disebutkan bahwa hanya
dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga
namanya terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf, sesudah pulang
dari pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada
dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang
pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung
tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri
Kedaton ( Kerajaan Giri ) . Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala
penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian
menurut De Graaf.
Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid
Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti
Eropa ( Rum ), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.
Semua itu adalah pengembara kebesaran
nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya.
Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah
dan pembentukan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau
juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukit tersebut sebenarnya
dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi
dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat
sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib, hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.
7. Sebagai Pemimpin Kaum
Putihan
Dalam menentukan hokum agama yang pada
saat itu memang sedang menghadapi ujian adanya masalah-masalah ummat yang pelik,
Sunan Giri sangat berhati-hati, beliau kuatir terjerumus pada jurang
kemusyrikan. Itu sebabnya beliau sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan
Hadits Nabi yang sahih.
Ibadah menurut beliau haruslah sesuai
dengan ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai kepercayaan lama yang
justru bertentangan dengan agama Islam. Karena mahirnya beliau di bidang ilmu
fiqih maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih. Di bidang tauhid beliau
juga tak kenal kompromi dengan adat istiadat lama dan kepercayaan lama.
Kepercayaan Hindu-Budha atau animesme dan dinamisme harus dikikis habis. Adat
istiadat lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya
tidak menyesatkan ummat dibelakang hari.
Pelaksanaan syariat Islam di bidang
agama ibadah haruslah sesuai dengan ajaran aslinya yang termasuk di dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena sikapnya ini maka Sunan Giri dan pengikutnya
disebut kaum Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan ini artinya adalah dalam
beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih seperti ajaran aslinya. Pemimpin
kaum putihan adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan
Drajad.
Kalau ada Islam Putihan tentunya ada
Islam Abangan, anak Islam Abangan ini adalah para pengikut Sunan Kalijaga yang
didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan
Muria.
Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah
agar Islam cepat tersiar keseluruh penduduk Tanah Jawa. Agar semua rakyat dapat
menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat :
1. | Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak merubah adat yang berat ditiadakan, sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam. |
2. | Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka ditiadakan. |
3. | Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk mempengaruhi sedikit demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar. |
4. | Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam menyiarkan agama Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya |
5. | Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul, mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya mau mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian rakyat seperti gending dan wayang kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka. |
Itulah pendapat kaum Abangan yang
dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu diketahui walaupun ada perbedaan dalam cara
menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu tidak sampai terjadi ketegangan kedua
pihak masih sama-sama berfaham Ahlussunah waljamaah dan bermahZab Syafi’i. Kedua
pihak sama-sama menyadari pentingnya pos mereka. Pihak Putihan menjaga kemurnian
agama Islam agar tidak bercampur dengan faham yang berbau syirik. Sedangkan
pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya menjadi pemeluk
agama Islam. Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan iman mereka
saja.
8. Peresmian Masjid
Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan
Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang pada waktu
itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah
kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang
bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan
Giri.
Jika Sunan Kalijaga mengusulkan
peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pegelaran wayang kulit, kemudian
diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat,
maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari jum’at
sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar
kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah
merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai
gambar manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada
sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya
itu dihadapan sidang para Wali.
Karena tak bisa disebut sebagai gambar
manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai
media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan
Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum
penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan
Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang
menata.
Maka perdebatan tentang peresmian Masjid
Demak bisa diatasi.
Peresmian itu akan diawali dengan shalat
Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang dinamakan oleh
Ki Dalang Sunan Kalijaga. Peranan Sunan Giri dalam perjuangan Wali Songo
sebenarnya masih banyak, diantaranya akan kami turunkan dalam bab lain di buku
ini.
9. Prabu Satmata Dan Giri
Kedaton
Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin
besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa
pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri
Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata.
Ketika Sunan Ampel wafat pada tahun
1478, maka Sunan Girilah yang diangkat sebagai sesepuh Wali Songo atau Mufti (
pemimpin agama se Tanah Jawa ). Sunan Ampel adalah Penasehat bagian politik
Demak. Jasa beliau sungguh besar bagi perjuangan Wali Songo, yaitu menyebarkan
agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah yang paling tidak setuju atas beberapa
usul agar Raden Patah segera menyerang Majapahit agar Demak dapat berdiri
sebagai kerajaan Islam merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel
dan Sunan Giri yang masih terhitung keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap
Prabu Brawijaya sebagai pembesar atau para Pangeran Majapahit yang berkuasa
didaerah masing-masing. Sunan Ampel berkuasa di Surabaya dan Sunan Giri berkuasa
di Giri Gresik. Dengan demikian Sunan Ampel adalah orang yang paling tahu
situasi kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali mengusulkan untuk menyerbu
Majapait, Sunan Ampel menyatakan ketidak setujuannya.
“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit
sudah keropos dari dalam. Lagi pula Prabu Brawijaya Kertabumi itu masih ayah
kandung Raden Patah selaku Pangeran Demak Bintoro,” Kata Sunan Ampel. “Apa kata
orang nanti bila seorang anak durhaka menyerang dan merebut tahta ayahnya
sendiri ? Saya kira Kerajaan Majapahit akan sirna dengan sendirinya, beberapa
adipati yang masih beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut kekuasaan.
Kita tak usah ikut-ikutan merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan
keagungan agama yang kita anut.”
Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak
lama setelah beliau meninggal dunia. Adipati Keling atau Kediri bernama
Girindrawardhana menyerbu kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa Prabu
Kertabumi atau Ayah Raden Patah itu tewas dalam serangan mendadak yang dilakukan
Prabu Girindrawardhana dari Kediri. Setelah Sunan Ampel wafat, penasehat bagian
politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga. Sedang Sunan Giri dianggap sesepuh
yang sering dimintai pertimbangan di bidang politik kenegaraan.
Para Wali mengadakan sidang sesudah
jatuhnya Majapahit oleh serangan menyerang Prabu Girindrawardhana yang berkuasa
di Majapahit. Sebab Raden Patah adalah pewaris utama kerajaan Majapahit. Dengan
demikian ketika Demak menyerbu Majapahit bukanlah menyerang Prabu Kertabumi yang
menjadi ayah Raden Patah, melainkan justru merebut tahta Majapahit dari tangan
musuh Prabu Kertabumi. Pada waktu Prabu Girindrawardhana ini berkuasa di
Majapahit pernah berusaha menggempur Giri Kedaton, karena Sunan Giri dianggap
salah satu kerabat Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh
Sunan Giri.
Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar
Prabu Satmata itu juga terdengar oleh seorang Begawan dari Lereng Lawu. Namanya
Begawan Mintasemeru. Brahmana ini sengaja datang ke Giri Kedaton untuk menentang
Sunan Giri adu kesaktian. Diantara adu kesaktian beragam jenisnya itu, yang
paling terkenal adalah adu tebakan. Begawan Mintasemeru menciptakan sepasang
angsa jantan dan betina, kemudian dikubur hidup-hidup diatas gunung Patukangan.
Sesudah itu dia kembali menemui Sunan Giri.
“Apakah yang baru saya tanam di puncak
gunung Patukangan itu, demikian tanya Begawan Mintasemeru menguji Sunan
Giri.
“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga
jantan dan betina!” jawab Sunan Giri dengan tenangnya.
Begawan itu tertawa terbahak-bahak
sembari memperolok-olok kebodohan Sunan Giri.
“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh
anda lihat lagi, hewan apakah yang Tuan tanam di puncak gunung itu,” kata Sunan
Giri.
Sang Begawan menurut. Dia bongkar
kuburan sepasang angsa ciptaannya. Ternyata angsa itu lenyap sebagai gantinya
adalah sepasang naga yang meliuk-liuk hendak menerkamnya. Tentu saja sang
Begawan merasa teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahwa Begawan Mintasemeru
masih mendemonstrasikan beberapa kesaktiannya yang menakjubkan, tapi semuanya
dapat dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada akhirnya Begawan Mintasemeru menyerah
kalah, tunduk dan masuk Islam, kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung Lawu.
Legenda tentang adu tebak kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung
sepasang naga di tangga masuk ke makam Sunan Giri yaitu tangga yang sebelah
selatan. Disana ada sepasang naga dari ukiran batu yang mirip dengan
angsa.
10. Jasa-Jasa Sunan
Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja
perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara,
baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun
dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui
murid-muridnya yang ditugaskan keluar pulau.
Beliau pernah menjadi hakim dalam
perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad karena
menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para
Wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang
bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan
agama Islam secara murni dan konsekwen berdampak positif bagi generasi Islam
berikutnya.
Islam yang disiarkannya adalah Islam
sesuai ajaran Nabi, tanpa di campuri kepercayaan atau adapt istiadat lama. Di
bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali
menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara
lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan. Diantara permainan
anak-anak yang dicintanya ialah sebagai berikut :
Diantara anak-anak yang bermain ada yang
menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari
kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggak atau batang pohon yang telah
ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan
tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid
maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai
pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut
jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang bulan, ayo
gage dha dolanan,
dolanane na ing
latar,
ngalap padhang
gilar-gilar,
nundhung begog
hangetikar.”
Artinya adalah sebagai berikut
:
“Malam terang bulan, marilah
lekas bermain,
bermain di halaman, mengambil
di halaman,
mengambil manfaat
benderangnya rembulan,
mengusir gelap yang lari
terbirit-birit.”
Maksud lagu dolanan tersebut ialah :
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka
bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah
kebodohan dan kesesatan.
Sunan Giri jauh-jauh sudah
memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap perubahan jaman. Beliau pernah
meramalkan bahwa pada masa yang akan datang akan banyak orang yang mengaku
mendapat wahyu Tuhan tetapi sebetulnya mereka sangat jauh dari agama. Bahkan
sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka dipuja-puja
ummat padahal menjadi benalu atau
pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat agama, bahkan
menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah tidak perlu
melakukan shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena dirinya sudah baik,
sudah sempurna. Itulah orang yang tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan
menyesatkan ummat pengikutnya.
Dimasa yang akan datang juga akan muncul
guru-guru ilmu yang merasa ilmunya sudah tinggi, sudah sempurna, mereka mengaku
mendapat wangsit dari Tuhan dan karenanya bebas berbuat apa saja. Guru semacam
ini justru dipuja-puja para pengikutnya sampai-sampai masyarakat rela
mengorbankan harta, harga diri dan jiwanya demi kesenangan sang guru. Dalam
kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang sudah sering terbukti. Sudah berapa
kalikah masyarakat dibodohi guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul hingga
orang-orang yang mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.
11. Para Pengganti Sunan
Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada
tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun.
Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau
bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar terhadap
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya
kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah
memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri
berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal
dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu :
1. | Sunan Dalem |
2. | Sunan Sedomargi |
3. | Sunan Giri Prapen |
4. | Sunan Kawis Guwa |
5. | Panembahan Ageng Giri |
6. | Panembahan Mas Witana Sideng Rana |
7. | Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri ) |
8. | Pangeran Singosari |
Pangeran Singosari ini berjuang gigih
mempertahankan diri dari sebuah Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan
Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan
yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah
menyungkir balikkan Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di
Kediri.
Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan
karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan
membunuh 6000 ulama’ Ahlusunnah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan
rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi
kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling
Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang Wali
Sanga. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri
Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan
Giri.
Yang dirawat oleh juru kunci makam Sunan
Giri.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar