Bab II
Sunan Gresik/Maulana Malik Ibrahim
1. Satria Mega
Pethak
Siang yang
terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.
Dari ujung desa nampak serombongan orang
berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata kasar dan kotor. Mereka memacu
kudanya dengan kecepatan tinggi.
Penduduk desa, terutama wanita dan
anak-anak yang berada di luar rumah, langsung berteriak ketakutan dan masuk ke
dalam rumah masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda itu memasuki
jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar
dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga ketengah-tengah perkampungan
penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat tangannya tinggi-tinggi
sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya berhenti.
Agaknya dua orang yang berada paling
depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya tinggi besar, berewokan, ada
membawa tanda tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu dikenakan enaknya saja
tanpa mengindahkan aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi bertubuh sedang
bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja pakaian
yang dikenakannya adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan belas orang di belakang lebih
parah lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit kerajaan, tapi cara
berpakaian mereka sudah tidak keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si
tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku Julung Pujud ! Kuperintahkan
kalian menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran rumah
masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan tanah,
kubakar habis rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah
para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun berani menampakkan
diri.
Wajah si penunggang kuda berpakaian
petani nampak murung mendengar ucapan orang yang menyebut dirinya Julung Pujud
itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai kapan ini akan
berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak
melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung
Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.”
Tak usah dihiraukan.
“Jangan macam-macam,” tukas Julung
Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus melakukannya hingga harta kita terkumpul
banyak dan nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang hingga tujuh
turunan .”
Orang yang disebut Tekuk Panjalin hanya
berdiam diri. Beberapa saat kemudian, karena tak ada jawaban dari penduduk
setempat. Wajah Julung Pujud nampak merah padam.
“Kurang ajar !” Bentaknya marah.” Di
desa manapun orang akan membungkuk-bungkuk dan menyembah kakiku jika mendengar
namaku disebut. Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak memandangku sebelah
mata. Baik ! Kalian memang perlu diberi pelajaran!”
Ia menoleh kepada anak buah yang berada
di belakangnya.
“Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar
semua rumah desa ini !”
Beberapa orang segera turun dari kuda
untuk menyalakan obor yang sudah mereka siapkan. Lalu naik lagi ke atas kuda
beberapa rekannya yang lain tinggal menyahutkan api pada obor itu. Dalam tempo
singkat tiga belas orang itu sudah memegang obor menyala di tangan kanan.
Sementara tangan kirinya tetap memegang kendali kuda.
Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah
penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding rumah yang terbuat dari kayu
dan beratapkan ilalang.
Sepasang mata Julung Pujud tiba-tiba
menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh. Sebuah rumah terbuat dari dinding
kayu beratapkan genteng. Nampaknya baru saja didirikan di sebelah barat pusat
perkampungan. Sepasang matanya yang tajam dapat melihat sekelompok orang sedang
duduk bersila dengan mulut komat kamit.
Julung Pujud segera mendekati bangunan
baru itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi makin dekat hatinya makin yakin jika
bangunan itu bukan tempat beribadahnya orang-orang beragama Hindu maupun
Budha.
Tepat pada saat itu orang yang duduk di
bagian paling depan mengorak sila, berdiri dan mengajak orang-orang yang berada
di belakangnya untuk keluar menemui Julung Pujud.
“Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan
bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian rundingkan. Mau melawanku ?” tanya
Julung Pujud dengan suara mengejek.
Seorang pemuda berusia dua puluh lima
tahun maju menghampiri Julung Pujud yang masih duduk di atas kudanya. Wajahnya
bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih hingga sebagian
rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu
dengan suara mantap.” Sudah lama kudengar nama dan sepak terjangmu ! Sungguh
sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana anak buahmu
?”
Julung Pujud mendelik. Hampir saja
sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada seorang
penduduk berani berkata seperti kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap
wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras.
“Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah
yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini ?”
Pemuda itu malah menatap lekat kearah
Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang
lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang.
Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung
Pujud benar-benar merasa dilecehkan.
Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang
takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami
berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat
dhuhur !” jawab pemuda tampan itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk
Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya menatap tajam-tajam ke
arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga
rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih
perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau sekedar kucing buduk dan
anjing kurap yang biasanya Cuma mengonggong !”
“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin
tanpa basa basi.
“Baik, panggil anak buah kita supaya
dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk anjing muda-muda ini supaya
lari terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari melompat dari atas kuda dan
langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan
segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah bersiap-siap hendak membakar
rumah-rumah penduduk.
Cepat berkumpul. Buang obor kalian !
Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin begitu
melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu
segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat Julung
Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud.”
Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa namamu supaya orang-orangku
mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda berani coba-coba melawanku, dan
akhirnya bernasib sial !”
“Namaku Ghafur ! Tetapi lidah
orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan kepadamu, tinggalkan dunia
kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat !”
“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung
Pujud” Pantas wajah dan kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera
jadi mayat !”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin
datang bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun
ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ? Apakah kaupun hanya akan mengajak anak muda itu
untuk saling mengonggong ?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk
Penjalin dengan hati mendongkol.
“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi
waktu untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak
lekas kau bikin modar anak muda itu ?” tukas Tekuk Penjalin.
Sementara itu pemuda bernama Gafur
segera melipat lengan bajunya yang panjang.
Agaknya pertarungan antaranya dengan
Julung Pujud tak bias dihindarkan lagi.
‘sebenarnya aku paling benci menggunakan
kekerasan. Tapi kepala kalian memang kepala batu yang patut dipukul dengan
tangan besi !” ujar Gafur.
“Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi karena
malu terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki berewokan itu menerjang maju ke arah
Gafur. Sepasang tangannya membentuk cakar rajawali di arahkan ke wajah Gafur
yang putih bersih.
Semua orang, terutama para pendududk
desa yang berdiri di belakang Gafur berteriak kaget. Sebab Gafur sepertinya tak
bereaksi, hanya diam saja, Seolah membiarkan Julung Pujud menampar dan mencakar
wajahnya begitu saja.
“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu
jarak serangan tinggal sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur menangkis tangan yang
hendak mencengkeram wajahnya bahkan langsung balik mengirim serangan dengan
menendang dada Julung Pujud.
Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan
tubuh terdorong ke belakang beberapa langkah. Dadanya terasa bagai di hantam
palu godam puluhan kilo. Benar-benar kecele.
Sudah diperhitungkan, melihat keberanian
si pemuda tentulah Gafur itu mempunyai sedikit kepandaian. Tapi sungguh tak
disangkanya jika kepandaian ilmu silat si pemuda demikian tingginya sehingga
sekali gebrak dia dibikin mundur sempoyongan dengan dada ampek.
Tadinya ia berharap akan meringkus
pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya dia langsung mengerahkan
jurus Rajawali Sakti tingkat ke delapan belas. Dia ingin mencengkeram dan
langsung memutar leher Gafur, sekali pelintir putuslah nyawa pemuda
itu.
Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik.
Justru dia yang terkena tendangan telak. Kini dengan wajah merah padam Julung
Pujud langsung mencabut golok di pinggangnya. Dan dengan teriakan mengguntur dia
merangsak lagi ke depan. Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur. Namun dengan
mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari.
Semua serangan Julung Pujud hanya
mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera membasahi wajahnya. Ia merasa
malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.
Dia adalah seorang pendekar kawakan.
Belum pernah dia melihat kecepatan gerak seorang pesilat seperti Gafur. Ia terus
memperhatikan cara-cara Gafur mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri
khas dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.
“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak
ragu.
Julung Pujud yang mendengar teriakan
Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan adalah ilmu tingkat tinggi. Tak
sembarang orang mampu mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia semuda itu
sudah menguasainya dengan baik. Sehingga setiap serangan yang dilancarkan tidak
akan pernah menyentuhnya. Selalu berjarak kurang dari sekilan dari sasaran. Tiga
puluh jurus telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia lebih
sering mengelak atau menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan tenaga
biasa.
Sementara Julung Pujud sangat bernafsu
merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan seluruh kemampuan yang ada. Ia telah
mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang dipelajarinya dari satuan pasukan
elite Majapahit maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji yang penuh gerak
tipuan. Semua itu ternyata tak mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh
Gafur.
“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk
Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya sudah mampu mencabut nyawamu sejak
tadi !”
Julung Pujud makin panas mendengar
ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu jadi saingannya dalam segala
hal. Ilmu mereka berimbang tapi Tekuk Penjalin nampak lebih tenang dan penuh
perhitungan. Tak gampang terbawa arus nafsu amarah yang merusak segala
pertimbangan akal sehat. Kini Julung Pujud menyerang Gafur dengan membabi buta.
Hingga suatu ketika Gafur merasa sudah saatnya memberikan pelajaran kepada
pemimpin gerombolan perampok itu.
“Trang ! Desss ! Desss !”
Saat itu Julung Pujud membacokan
goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur menangkis dengan tangan kirinya. Semua
orang terkejut. Mengira tangan Gafur yang bakal putus dibabat golok itu.
Ternyata justru golok itulah yang patah menjadi dua. Dan sebelum hilang rasa
terkejutnya, Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena tendangan teramat keras
dari sepasang kaki Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh Julung Pujud
terjungkal ke belakang dengan terjembab ke tanah dengan keras sekali. Mulutnya
mengeluarkan darah segar. Nafasnya terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya
memandanginya dengan bengong, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Goblok !” umpatnya dengan nafas
tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu bangsat itu ! Bunuh dia
!”
Delapan belas prajurit itu langsung
turun dari kudanya masing-masing. Dengan menghunus golok di tangan mereka
menyerbu ke arah Gafur.
Namun puluhan penduduk yang tadinya
hanya berdiri di belakang Gafur segera mengambil senjata seadanya. Dan mereka
segera menyerbu ke arah kawanan perampok yang hendak mengeroyok
Gafur.
Ternyata ada beberapa pemuda desa yang
telah mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup membuat kawanan rampok itu
repot meladeni serangannya. Belum lagi puluhan penduduk yang menyerang dengan
nekad dengan senjata parang, golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk padi,
lemparan batu dan sebagainya.
Selama menjarah desa puluhan kali belum
pernah kawanan rampok itu mendapat perlawanan sesengit ini. Biasanya para
penduduk desa sudah mengkeret begitu mendengar gertakan mereka. Tak ada yang
berani melawan.
Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa
mereka sedang bertemu dengan macan rupanya benar-benar menjadi kenyataan.
Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah menjadi sekawanan
harimau terluka. Siap menerkam siapa saja yang coba-coba mengusik ketenangannya.
Julung Pujud melangkah tertatih-tatih ketepian. Menjauhi pertempuran. Mendekati
kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas anak
buahnya bertarung sengit dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung
meloncat ke depan Gafur.
“Senang sekali bertemu denganmu anak
muda.” Katanya dengan wajah berseri-seri.
“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan
tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”
Habis berkata demikian dia langsung
melancarkan serangan dari jarak jauh.
Serangkum hawa panas meluncur ke dada
Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin sebelum tenaga dalam yang
dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca beberapa ayat
Al-Qurán. Kedua telapak tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk
menangkis.
“Wesssss .......... ! Hiaaaaat ! Tap
!”
Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah
menduga serangannya bakal membalik. Maka dia meloncat tinggi-tinggi ke arah
pohon mangga. Dan hinggap disalah satu dahannya. Gafur memandangnya sejenak.
Kemudian menoleh ke arah penduduk desa yang sedang bertempur melawan kawanan
perampok. Ia mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok itu
bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya, bahkan ada lima orang penduduk
yang sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat golok.
“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.”
Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk Penjalin yang masih tertengger
diatas dahan pohon mangga.
Tampa diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin
menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur berjumpalitan di udara beberapa kali
untuk menghindari daun mangga yang meluncur bagai sebatang anak
panah.
“Tasss ! Jreppp !”
Gafur berhasil menghindari sembitan daun
mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti. Daun itu mengenai batang pohon
pisang di sebelahnya, tembus dan meluncur lagi ke arah batang pohon kelapa.
Amblas dan menancap do batang pohon kelapa itu.
Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika
daun itu mengenai tubuhnya ?
Nalurinya berkata lawannya kali ini
bukan sembarang orang. Melainkan lawan tangguh yang mempunyai ilmu sangat
tinggi. Ia sudah berhasil hinggap di salah satu dahan pohon mangga, tepat
diseberang Tekuk penjalin.
“Ki Tekuk Penjalin, andika seorang
pendekar perkasa, “Tegur Gafur dengan sopan sekali. “Mengapa harus berloncatan
ke dahan pohon seperti tupai ? Mari kita tuntaskan pertarungan ini di atas
tanah.”
“Kau takut bertempur di atas pohon ?
Ejek Tekuk Penjalin.
“Andika salah sangka. Saya hanya tidak
mau merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang benar. Kasihan penduduk desa yang
telah menanamnya dengan susah payah selama puluhan tahun” ujar Gafur dengan
suara datar.
Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang
pohon mangga. Pemuda itu demikian menghargainya. Ia merasa malu karena selama
bertahun - tahun membunuh dan memperlakukan manusia bagaikan barang yang tidak
berharga.
“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata
Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan tubuhnya hinggap di atas
tanah.
Gafur melakukan hal serupa. Bahkan
gerakannya membuat Tekuk Penjalin tercekat.
Cepat bagai kilat namun indah bagaikan
sehelai daun kuning jatuh ke tanah.
“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk
Penjalin.
Gafur memang bermaksud segera menyudahi
pertempuran itu. Ia merasa kasihan pada para penduduk desa yang terus menerus
berjatuhan karena kalah pengalaman dibanding kawanan perampok yang asalnya
memang dari pasukan tempur kerajaan Majapahit.
Tampa basa basi lagi Gafur mengerahkan
ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari Perguruan Al-Karomah. Tekuk Penjalin
langsung roboh terjungkal ke tanah. Nafasnya terengah-engah. Mulutnya
mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian tubuhnya nampak matang
biru.
Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang
sudah naik ke atas punggung kuda menjadi kecut hatinya. Ia menggiring kudanya
secara diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya Julung Pujud
bersiap-siap hendak melarikan diri jika ternyata pihaknya menderita
kekalahan.
“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin
dengan pandang mata penasaran.
“Andika keliru !” sahut Gafur sembari
melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar tanpa dapat bangun lagi.” Kami
bahkan sangat membenci ilmu setan. Ilmu yang barusan kupergunakan tadi adalah
ilmu Pencak Silat Karomah.”
“Kau berasal dari perguruan mana
?”
Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah
penduduk yang masih terus bertempur dengan kawanan perampok.
Kemudian berpaling dan mendekati ke arah
Tekuk Penjalin.
“Cepat perintahkan anak buahmu untuk
menyerah !” Bentak Gafur dengan pandang mata mencorong.
Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur
jadi gelisah. Ia melangkah makin dekat. Sepasang kakinya berdiri di sisi tubuh
Tekuk Penjalin yang terkapar. “Jika kau tak mau perintahkan anak buahmu
menyerah, maka sekali kuinjakkan kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !”
ancamnya tanpa main-main.
Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara.
Sepasang matanya memandang Gafur dengan penuh penasaran. Rasanya dia masih belum
percaya jika telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam tiga kali gebrakan.
Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan telah membuka pandangan hidup bahwa
seolah-olah di dunia ini tidak ada orang sakti selain dirinya.
“Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk
menyerah ! “ Ancam Gafur dengan hati galau. Kini ia mengangkat tangannya
tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke dada Tekuk Penjalin.
Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam.
Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara. Ingin bertemu dengan tokoh
silat tingkat tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak muda. Aku
kecewa, daripada hidup menanggung malu, lebih baik aku mati
ditangannya.”
Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk
Penjalin menggerakkan mulutnya. Bukan untuk memberi perintah agar anak buahnya
menyerah. Melainkan justru meludahi wajah Gafur yang hendak menginjak
dadanya.
“Juhhhhh .......... !”
Gafur tak sempat mengelak. Ludah itu
menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih bersih berubah jadi merah
padam pertanda marah.
Sepasang tangannya terkepal erat. Kaki
kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak tentu ambrol dada Tekuk
Penjalin. Melihat wajah Gafur yang merah membara itu tergetarlah hati Tekuk
Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia tidak rela mati begitu saja. Kini
lenyaplah kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan ciut. Wajahnya seketika
berubah jadi pucat pasi.
“Kali ini tamatlah riwayatku .......”
Desis Tekuk Penjalin melihat kaki kanan Gafur diangkat tinggi-tinggi. Siap
menggempur dadanya.
Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur
mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin dengan kakinya. Dia menarik
kaki kanannya dan berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia menyebut ,
“Astaghfirullah ..”
Wajahnya yang tadi merah pedam karena
dialiri darah amarah yang menggelegak mendadak berubah lagi jadi putih bersih.
Perlahan dia membersihkan ludah Tekuk Penjalin yang menempel di
wajahnya.
“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau
bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin keheranan.
“Karena tadi kau telah membuatku marah
!” jawab Gafur datar.
“Aku tidak boleh menghukum orang dalam
keadaan marah. Itu termasuk dosa !”
“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin
masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok jahat yang pantas di bunuh
?”
“tadi .......... “kata Gafur.” Sebelum
kau meludahiku dan sebelum aku marah. Aku boleh membunuhmu karena niatku
membunuhmu adalah untuk jihad fi sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi setelah
kau meludahi, maka hatiku jadi marah. Yang marah adalah aku pribadi. Karena diri
pribadiku tersinggung. Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan antara
kepentingan pribadi dengan niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku
sudah menyeleweng dari jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa besar jika
membunuhmu atas dasar kebencian pribadi. Bukan atas dasar perang di jalan Allah,
yang sesuai dengan ajaran agamaku !”
Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya
bergolak.
“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah
nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk Penjalin.
“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya
selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat hidupnya di dunia dan
akhirat.”
“Aku ………. adalah bekas perwira Majapahit
yang membelot dan menjadi pemimpin rampok. Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah
Tuhanmu masih mau mengampuniku ?” tanya Tekuk Penjalin.
“Kenapa tidak ?” Sahut Gafur. “Misalkan
dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi. Namun kalau kau masuk agama
Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh. Artinya kita tidak akan mengulangi
perbuatanmu yang jahat, menggantinya dengan perbuatan baik, maka Tuhan akan
mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu akan dihapus semua.”
“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin
ragu.
“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah
suatu dosa !” sahut Gafur.
Tiba-tiba Tekuk Penjalin berusaha
bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka ia segera roboh lagi.
Gafur cepat menyambarnya. Sementara itu, pertempuran antara penduduk desa dengan
kawanan perampok masih berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang
membahana.
“Berhenti ! Hentikan pertempuran
!”
Semua orang terkejut dan segera
menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari Tekuk Penjalin. Dia
berdiri tegak di samping Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin sehingga
tubuhnya kembali segar bugar seperti semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan
dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku
masuk agama Islam dam menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak
!”
Semua orang terkejut mendengar perkataan
itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun para perampok itu sendiri.
Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan petir menyambar
di telinganya. Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah
menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap
wajah seluruh anak buahnya.
“Kalian boleh pilih, tetap menjadi
gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas pemerintah Majapahit dan
dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan membaur dengan
masyarakat !”
Delapan belas perampok itu sekarang
tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa. Delapan
orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu mendengar seruan Tekuk
Penjalin.
Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya
masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud. “Ki Tekuk Penjalin ! Tidak sudi
kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami sendiri !”
“Terserah kalian !” sahut Tekuk
Penjalin. “Tapi jangan coba-coba mengganggu desa ini lagi. Bila itu kalian
lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi kalian !”
“Ha ha ha ha .......... !” Julung Pujud
tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita tinggalkan Tekuk Penjalin
yang telah menjadi banci !”
Julung Pujud mendahului memacu kudanya
keluar desa. Diikuti tujuh orang anak buahnya yang tidak mau menerima fitrah
kebenaran abadi. Beberapa penduduk desa yang masih merasa geram dan dendam
segera menendang dan memukuli delapan perampok yang telah menyerah, duduk
bersimpuh di atas tanah tanpa mengadakan perlawanan sama sekali.
Gafur segera membentak ke arah penduduk
desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri
!”
“Mereka sudah membujuk teman-teman kami
!” protes penduduk.
“Serahkan mereka padaku. Aku akan
mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara berwibawa. Kemudian ia memberi isyarat
kepada seluruh penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk Penjalin dan anak buahnya
duduk bersimpul di belakang Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang segera
berkumpul di hadapan Gafur.
“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur
membuka suara.” Muslim yang kuat lebih disukai Allah. Dengan adanya kekuatan
kita dapat mempertahankan diri dari pemaksaan kehendak orang lain, itulah
sebabnya para pemuda di desa ini kuajari ilmu pencak silat di samping belajar
ilmu agama !”
Demikianlah, secara panjang lebar Gafur
memberikan bimbingan kepada penduduk setempat untuk mengenal dan memperdalam
agama Islam. Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan dibuktikan dengan
perbuatan nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal yang ditugaskan membina
desa-desa tertinggal, dan masyarakat yang belum mengenal Islam. Dia membantu
para penduduk untuk meningkatkan taraf kehidupannya dengan cara membimbing
mereka bertanam padi dengan cara yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang
dipelajari dari gurunya ia juga telah banyak menolong para penduduk yang
menderita sakit.
Penduduk setempat akhirnya menaruh
simpati. Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan mengenalkan keindahan dan
keluhuran agama Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin dan anak buahnya dibina di
desa itu. Akhirnya mereka menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung desa
dari rongrongan para perampok.
Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh
Gafur yang oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria Mega Pethak atau Satria
Awan putih. Seputih hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh perjalanan
hidupnya.
Gafur sangat toleran terhadap
kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran agama.
Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada
henti-hentinya menegakkan kebenaran yang dinodai sekelompok orang tak
bertanggung jawab. Gafur hanyalah salah satu di antara sekian banyak murid Kakek
Bantal yang tinggal di Garawesi atau Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu.
“Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur yang disebut Kakek Bantal itu ?”
tanya Tekuk Penjalin pada suatu hari.
Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek
Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri Seberang. Beliau tinggal di Jawa,
tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut demikian karena beliau mampu
membaur dengan penduduk setempat sehingga boleh dikatakan sudah membumi dengan
lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang mengatakan Bantal adalah bantal
untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya
melegakan semua orang yang mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi
tenang, setenang saat mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”
2. Menanti Tetes
Air
Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan
Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran drastis.
Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai
memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi.
Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau
Jawa.
Wibawanya masih terasa kuat di dunia
luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu sudah sangat keropos. Perang
saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban.
Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para pembesar
dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan
raja. Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan
pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan
beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum
bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas
keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah lahan pertanian
mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Ditambah adanya musim
kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin
menggenaskan.
Di saat demikian sesekali si Kakek
Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa daerah.
Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat. Pada suatu hari Kakek
Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat gersang.
Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering,
tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di
suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu nampak
puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus
sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian
atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung
masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat
sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa dari
melintang yang penuh darah.
Terus menerus kedua pemuda itu saling
menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua punggung anak muda itu penuh luka
yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya menabuh gending untuk memberi
semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan
pingsan.
Irama gending segera
berhenti.
Seorang pendeta berpakaian kuning, yang
agaknya menjadi ketua adat segera memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda
itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang
sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar. “Bawa
kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si
gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di tengah-tengah lingkaran itu ada
batu altar persembahan.
“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak
gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak, namun tenaganya kalah kuat dibanding
ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya dengan
paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih
segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki memegangi kedua tangan dan
kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan. Kakek Bantal makin
tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Kini sang
pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas
langit.
“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan
kami ! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan limpahan airmu ke bumi yang
gersang ini !” Demikian teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua segera mendekati
si gadis dengan senyum menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu mencabut
belati dari balik pinggangnya.
Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan
rela kepada Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar dari jantungmu sederas itu
pula hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu tidak akan
dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”
“Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak
mau ...... !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar ketakutan.
“Diam !” bentak lelaki berwajah seram
yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret, pucat
pasi.
“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta.
Keempat lelaki yang memegangi sepasang tangan dan kaki si gadis makin mempererat
cekalannya. San pendeta mendekati altar persembahan.
Ia mengangkat belati itu di atas dada si
gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak menikam jantung si gadis
cantik dengan belati itu.
“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan
lembut namun jelas terdengar oleh semua orang.
Kakek Bantal dan kelima orang muridnya
menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri si pendeta yang memegang belati,
siap dihujamkan ke jantung si gadis. “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanya
Kakek Bantal.
Kami mengharap turunnya hujan !” sahut
sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak suka atas kedatangan Kakek
Bantal itu.
“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap
hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis cantik ?”
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu
kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air.” Sahut sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini
dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi. Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia
tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi isyarat agar
kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek
Bantal.
Dua orang bertubuh kekar segera
menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek Bantal. Tanpa basa-basi
mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala Kakek
Bantal.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya
mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka berdiri kaku dengan
golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak
menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau rencananya berantakan.
Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke jantung si gadis cantik. Namun ia
berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk meluncurkan belati itu ke
dada si gadis.
“Kau ...... ? Kau ...... ?” teriak sang
pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.” Mau apa kau mengganggu jalannya
upacara ini ?”
Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke
tengah arena.
“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau
korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?” tanya Kakek
Bantal.
“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan
sengit.
“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.”
Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”
“Pengorbanan mereka tidak sia-sia,
“Tukas pendeta tua.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis
tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek Bantal.
Pendeta tua tidak segera menjawab,
tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak,
“Belum …… “.
Wajah sang pendeta nampak jadi beringas
mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan lantang ia berkata, “Hujan belum
turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa Hujan akan menerima
pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan akan
diturunkan !”
Bagaimana jika pengorbanan dilakukan
ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya Kakek Bantal.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia
memberi isyarat kepada dua lelaki kekar dibelakangnya untuk meringkus Kakek
Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau. Dua lelaki itu, yang agaknya adalah
pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud menghajar
Kakek Bantal hingga babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka
tiba-tiba terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari
memegangi pahanya.
“Kau bermaksud menentang kami hai orang
asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja mengganggu upacara kami !”
“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar
Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa
ini.”
“Puih !” pendeta tua meludah sambil
bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini
?”
“Apa yang kalian inginkan dari kami ?”
Kakek Bantal balik bertanya.
“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para
penduduk desa serentak.
“Cuma hujan ?” ujar Kakek
Bantal.
Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak
bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu ! Coba turunkan kalau kau
bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segan-segan akan
membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”
“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun
akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan tenang.
“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta
tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”
“Allah adalah Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang menciptakan kita semua,”
Ujar Kakek Bantal.
“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang
bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika
kami bisa menurunkan hujan aras ijin Allah, maka kalian harus membebaskan gadis
itu !” kata Kakek Bantal.
“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua
orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak kadang, sudah pantas jika
dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !”
Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan
orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami dapat menurunkan hujan. Maukah
kalian membebaskan gadis itu ?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa
dengan serentak.
“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.”
Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya
disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus
disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan
!”
Para penduduk desa nampak tercenung
mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek Bantal dan kelima muridnya yang
selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan
shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit
tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan turun
dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua orang yang
berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat
lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam
keangkuhannya.
“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu
sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja
!”
Kakek Bantal segera menghampiri pendeta
tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang bagi orang Islam. Kami tidak
boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah nyata rahmat dari
Allah yang menciptakan langit dan bumi !”
Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui
kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak buahnya yang
memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera mengikuti langkahnya
pergi meninggalkan desa itu.
Ketika hujan sudah reda, orang-orang
yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kakek
Bantal dan kelima muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hampir saja
dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek
Bantal. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama manusia. Hanya Tuhan Allah
yang pantas kalian sembah dalam sujud.”
Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal,
semua orang segera bangkit untuk bersila, salah seorang dari mereka yang
nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih kepada Tuan,
karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama kami
tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta hujan seperti
tadi ?”
Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan
kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia !”
Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang
desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk
memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta
hujan seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan
mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?” “Mauuuuuu ...... ! jawab para
penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari Kakek
Bantal tinggal di desa itu. Membimbing para penduduk desa untuk mempelajari
agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka selaku orang awam.
Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan
perjalanan pulang ke Gresik. Ia telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli
dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing penduduk desa itu.
Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk desa itu.
Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek
Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu untuk menempatkan muridnya
di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk
desa yang dilaluinya.
3. Siapa Kakek
Bantal?
Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke
Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara.
Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang
wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau
pada tahun 1082 M.
Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja
Serindrawarman dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra telah masuk Islam. Kemudian
pada abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau Jawa sudah
ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen disebut
Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa
kerajaan Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur,
tetapi sekarang kota Jepara adalah daerah Jawa Tengah).
Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti
Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah berkorespondensi dengan Maharaja Jambi
(Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu masih
tersimpan baik di Musium Granada Spanyol sampai sekarang.
Jadi, sebelum jaman Wali Songo, Islam
sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada masa
itu belum berkembang secara besar-besaran. Kakek Bantal diperkirakan datang ke
Gresik tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada
tahun 1419.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di
Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu
atau Budha. Sebagaian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tetapi masih
banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan
cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu
:
“Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah
(kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka
berdialoq (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
Ada yang menyebutkan bahwa beliau
berasal dari Turki. Dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup
berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa.
Gujarat adalah wilayah negeri Hindia
yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya
berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap
mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat,
juga meluruskan imam dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan
Musyrik. Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah
itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan
dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di
batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek
Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli
tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau
terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan
rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu
nisannya terdiri dari :
Surat Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya
:
“Allah, tidak ada Tuhan malainkan Dia,
yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan
tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat
memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang ada
di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa
dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan kekuasaan)
Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara
keduanya. Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.”
Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya
:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu, barang
siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya ia
beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”
Surat Ar-Rahman ayat 25, 27,
terjemahannya :
“Semua yang di bumi akan binasa. Dan
tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
Surat At-Taubah ayat 21, 22,
terjemahannya :
“Tuhan mereka menggembirakan mereka
dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga. Mereka memperoleh
di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”
Selanjutnya tertulis data siapa yang
dimakamkan di kuburan itu. “Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap
rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran, sendiri Sultan dan para Menteri,
penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol
negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah
meliputinya dengan Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga.
Telah wafat pada hari senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga
ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil
pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang di
sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan
ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim
membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati.
Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi
pengikut beliau yang setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi
rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan
Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah
agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka
dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana
Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana
diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta; kasta Brahmana,
Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang
paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka
ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seorang di dalam Islam,
orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim
menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra
boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di
hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka
hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.
Taqwa itu letaknya di hati, hati yang
mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha sekuat-kuatnya
mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Dengan taqwa
itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak, orang
yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada
mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang
berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan
dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka
berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah pengikutnya
semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama
dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak
sedikit dari Raja
Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang
nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa
yang seluruh Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan
perguruan Islam. Tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon
mubaligh. Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh
kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan pendeta Brahmana yang mendidik
cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi para wali
yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk
mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu
mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan
Budha tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan,
dari pesantren Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh
Nusantara.
Tradisi Pesantren tersebut berlangsung
hingga di jaman sekarang. Dimana para ulama menggodok calon Mubaligh di
pesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya sesuatu masalah
agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan
di jawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan
agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, ummat harus dibuat gembira,
tidak ditakut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of
Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim
ditanya : “Apakah yang dinamakan Allah itu ?” Beliau tidak menjawab bahwa Allah
itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga hambaNya yang berbakti dan menyiksa
sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.”
Jawabnya cukup singkat dan jelas yaitu,
“Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.” Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik
Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal
dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberikan pengarahan agar tingkat
kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan
adanya sistim pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil
panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan
ibadah dengan tenang.
Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim
tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka
sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang.
Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran
menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika
sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus
ditiru.
Seorang imam surau, musholla atau masjid
adalah pemimpin jamaahnya. Pada saat imam mengucapkan, “Iya kana’budu waiyya
kanasta’in, “KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami mohon pertolongan.
Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah sang imam atau pemimpin tadi menjamin
bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi, menyembah dan mohon pertolongan
hanya kepada Allah ?
Bagaimana jika shalat makmumnya tidak
khusyu’? sebabnya tidak khusyu’ karena masalah ekonomi. Apakah imam yang menjadi
wakil makmum menghadapkan diri kepada Tuhan itu bersiap masa bodoh dan tidak
menghiraukan masalah ekonomi makmumnya. Sehingga setiap kali memimpin shalat
sang imam terus saja berbohong kepada Tuhannya bahwa dia menyatakan siap
mengabdi, menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi makmum atau orang yang
dipimpinnya ternyata belum siap dikarenakan masalah duniawi. Itulah sebabnya
para Wali tidak hanya membimbing agama kepada ummatnya melainkan juga berusaha
meningkatkan taraf kehidupan ummatnya.
4. Tamu dari Negeri
Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik
Ibrahim, dia telah berhasil mengislamkan sebagaian besar rakyat Gresik adalah
bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam
sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di
belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk
menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak
Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal itu diutarakan kepada sahabatnya
yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah
lama Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun
1321 M. Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan.
Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama
Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim
rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka
ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan
ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia
dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam
bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragam seperti itu hanya hanya
akan merusak keagungan agama Islam.
Rombongan dari negeri Cermain lalu
kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya
perbaikan kapal untuk berlayar pulang. Sungguh sayang sekali, selama
beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri Cermain yang
diserang wabah penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi
Sari.
Kabar kematiannya Dewi Sari terdengar ke
telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada
Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke desa
Leran. Brawijaya sang raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa
kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran.
Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.
Setelah rombongan dari negeri Cermain
meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik
kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri dibawah kedaulatan
Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik
yang beragama Islam itu tidak memberontak kepada rajanya yang masih beragama
Hindu.
Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh
Maulana Malik Ibrahim denga suka rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang
menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang bukan
muslim yang mau hidup bersampingan dengan aman dalam satu negara.
Demikianlah sekilas tentang Syekh
Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Wali Sanga.
Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419M.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar